Rabu, 14 September 2011

Teori Komunikasi Islam

Komunikasi Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang baru muncul dalam penelitian akademik sekitar tiga dekade belakangan ini. Munculnya pemikiran dan aktivisme komunikasi Islam didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis. Kegagalan tersebut menimbulkan implikasi negatif terutama terhadap komunitas Muslim di seluruh penjuru dunia akibat perbedaan agama, budaya dan gaya hidup dari negara-negara (Barat) yang menjadi produsen ilmu tersebut.
Ilmu komunikasi Islam yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini terutama menyangkut teori dan prinsip-prinsip komunikasi Islam, serta pendekatan Islam tentang komunikasi. Titik penting munculnya aktivisme dan pemikiran mengenai komunikasi Islam ditandai dengan terbitnya jurnal “Media, Culture and Society” pada bulan Januari 1993 di London. Ini semakin menunjukkan jati diri komunikasi Islam yang tengah mendapat perhatian dan sorotan masyarakat tidak saja di belahan negara berpenduduk Muslim tetapi juga di negara-negara Barat. Isu-isu yang dikembangkan dalam jurnal tersebut menyangkut Islam dan komunikasi yang meliputi perspektif Islam terhadap media, pemanfaatan media massa pada era pascamodern, kedudukan dan perjalanan media massa di negara Muslim serta perspektif politik terhadap Islam dan komunikasi.
Komunikasi Islam berfokus pada teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia. Kesesuaian nilai-nilai komunikasi dengan dimensi penciptaan fitrah kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap kesejahteraan manusia sejagat. Sehingga dalam perspektif ini, komunikasi Islam merupakan proses penyampaian atau tukar menukar informasi yang menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi dalam Alquran.1 Komunikasi Islam dengan demikian dapat didefenisikan sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang sesuai dengan Alquran dan Hadis. Teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh Barat lebih menekankan aspek empirikal serta mengabaikan aspek normatif dan historikal. Adapun teori yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini sangat bersifat premature universalism dan naive empirism. Dalam konteks demikian Majid Tehranian,2 menguraikan bahwa pendekatan ini tidak sama implikasinya dalam konteks kehidupan komunitas lain yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga dalam perspektif Islam, komunikasi haruslah dikembangkan melalui Islamic world-view yang selanjutnya menjadi azas pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek kekuasaan mutlak hanya milik Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai penyambung komunikasi dan aspek pengawasan syariah yang menjadi penunjang kehidupan Muslim.3
Dalam aspek perubahan sosial dan pembangunan masyarakat, komunikasi Barat cenderung bersifat positivistik dan fungsional yang berorientasi kepada individu, bukan kepada keselurusan sistem sosial dan fungsi sosiobudaya yang sangat penting untuk merangsang terjadinya perubahan sosial. Kualitas komunikasi menyangkut nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, kesahihan pesan dan sumber, menjadi aspek penting dalam komunikasi Islam. Oleh karenanya dalam perspektif ini, komunikasi Islam ditegakkan atas sendi hubungan segitiga (Islamic Triangular Relationship), antara “Allah, manusia dan masyarakat”.4
Dalam Islam prinsip informasi bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat value-free, tetapi ia memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna. Jadi Islam meletakkan inspirasi tauhid sebagai parameter pengembangan teori komunikasi dan informasi. Alquran menyediakan seperangkat aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi.
Di samping menjelaskan prinsip dan tata berkomunikasi, Alquran juga mengetengahkan etika berkomunikasi. Dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi dalam Alquran yang meliputi fairness (kejujuran), accuracy (ketepatan/ketelitian), tanggungjawab dan kritik konstruktif.5 Dalam surah an-Nuur ayat 19 dikatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita), perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui”.6
Sehubungan dengan etika kejujuran dalam komunikasi, ayat-ayat Alquran memberi banyak landasan. Hal ini diungkapkan dengan adanya larangan berdusta dalam surah an-Nahl ayat 116: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.7
Dalam masalah ketelitian menerima informasi, Alquran misalnya memerintahkan untuk melakukan check and recheck terhadap informasi yang diterima. Dalam surah al-Hujurat ayat 6 dikatakan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.8
Menyangkut masalah tanggungjawab dalam surah al-Isra’ ayat 36 dijelaskan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawab-nya”.9 Alquran juga menyediakan ruangan yang cukup banyak dalam menjelaskan etika kritik konstruktif dalam berkomunikasi. Salah satunya tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.10
Begitu juga menyangkut isi pesan komunikasi harus berorientasi pada kesejahteraan di dunia dan akhirat, sebagaimana dijelaskan dalam sural al-Baqarah ayat 201: “Dan di antara mereka ada orang yang mendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.11
Selain itu, prinsip komunikasi Islam menekankan keadilan (‘adl) sebagaimana tertera dalam surah an-Nahl ayat 90, berbuat baik (ihsan) dalam surah Yunus ayat 26, melarang perkataan bohong dalam surah al-Hajj ayat 30, bersikap pertengahan (qana’ah) seperti tidak tamak, sabar sebagaimana dijelaskan pada surah al-Baqarah ayat 153, tawadu’ dalam surah al-Furqan ayat 63, menunaikan janji dalam surah al-Isra’ ayat 34 dan seterusnya.
Membangun paradigma komunikasi Islam, sesungguhnya tidak harus dimulai dari nol. Dasaran sintesisnya dapat menggunakan teori-teori komunikasi konvensional (Barat), namun yang menjadi Homework bagi para intelektual Muslim adalah membuat sintesis baru melalui aspek methatheory yang meliputi epistemologi, ontologi dan perspektif. Pembenahan pada aspek dimensi nilai dan etika harus dapat berkolaborasi dengan ketauhidan dan tanggungjawab ukhrawi. Fungsi komunikasi Islam adalah untuk mewujudkan persamaan makna, dengan demikian akan terjadi perubahan sikap atau tingkah laku pada masyarakat Muslim. Sedangkan ultimate goal dari komunikasi Islam adalah kebahagiaan hidup dunia dan akhirat yang titik tekannya pada aspek komunikan bukan pada komunikator.12


BIBLIOGRAFI
Amir, Mafri. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta: Logos, 1999.
Arifin, Anwar. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 1989.
Fisher, B. Aubrey. Teori-Teori Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986.
Ghani, Zulkiple Abd. Islam, Komunikasi dan Teknologi Maklumat. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Dist
Hussain, Mohd. Yusof, et.al. Dua Puluh Lima Soal Jawab Mengenai Komunikasi Islam. Jabatan Komunikasi Pembangunan, Pusat Pengembangan dan Pendidikan Lanjutan, University Pertanian Malaysia, 1990.
Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam Abad 21, diterjemahkan dari judul aslinya “Information and the Muslim World: A Strategy for the Twenty-first Century”, oleh A.E. Priyono dan Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1989.
Sophiaan, Ainur Rofiq. Tantangan Media Informasi Islam, Antara Profesionalisme dan Dominasi Zionis. Surabaya: Risalah Gusti, 1993.
Tehranian, Majid. “Communication Theory and Islamic Perspective”, dalam Wimal Dissanayake (ed.), Communication Theory: The Asian Perspective. Singapore: Mass Communication Research and Information Centre, 1988.

Rabu, 08 Juni 2011

FENOMENA BERBUSANA SEXSI Oleh : Abdul Yajib

A.      Pendahuluan

Busana dalam konteks sosial budaya merupakan objek studi yang menarik untuk diperbincangkan, tidak hanya oleh dunia perguruan tinggi tetapi juga oleh lembaga lain yang menaruh perhatian terhadap dinamika sosial budaya suatu masyarakat. Isu busana sexsi dan busana budaya ketimuran serta busana islami yang mencuat akhir-akhir ini di dimasyarakat, patut mendapatkan perhatian dari banyak pihak, sebagai suatu realitas sosial yang terus berkembang. Realitas sosial ini akan terus bergulir dan tidak mungkin dibendung, mengingat isu busana sebagai realitas (social reality) akan terus menerus melaju hingga memenukan titik nadir. Dalam studi sosiologi titik nadir ini dikenal dengan “kesempurnaan realitas sosial”. Diskursus busana sebagai isu sosial dalam konteks kita Indonesia khususnya Sumatera Utara hari ini, memiliki latar belakang yang patut diselami dan diketahui secara seksama oleh pemerhati sosial budaya. Paling tidak terdapat empat simpul yang dapat dinyatakan sebagai background yang mencuatkan isu busana sebagai isu hangat yang memerlukan jawaban berbagai pihak. Jawaban tersebut bisa saja diungkap dalam kerangka ilmu fiqh, ilmu hukum, ilmu sosial-budaya dan berbagai dimensi ilmu lainnya. Isu busana yang sedang menjalani proses pencarian kesempurnaan realitas sosial, diharapkan benar-benar mampu menciptakan situasi sosial yang seimbang (social equilibrium).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang dikenal kental dengan sopan santun dalam  berbusana dan ramah tamah dalam pergaulanya serta nilai – nilai agama yang melekat dengan syari’at Islam.  Karena Islam sebagai ajaran yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, sudah dijadikan pedoman hidup yang mengikat seluruh prilaku sebagian besar masyarakat Indonesia. Nilai dan norma yang berasal dari ajaran syari’at Islam menjelma sebagai nilai positif yang dipatuhi dan diikuti ,yang pada akhirnya melahirkan sejumlah interaksi sosial.

B.  Busana Dalam Seting Lintas Budaya
Studi busana dalam seting lintas budaya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai (values) yang dianut oleh suatu masyarakat.  Nilai tersebut dapat saja bersumber dari ajaran agama atau nilai budaya yang dibentuk secara turun temurun oleh para leluhur sebagai warisan yang dipegang dan dianut oleh suatu komunitas. Nilai yang berasal dari leluhur merupakan kreasi orang-orang terdahulu sebagai bentuk warisan mulia yang harus dipertahankan oleh generasi selanjutnya. Nilai ini patut dipertahankan karena dapat menjaga eksistensi nilai kemanusiaan dari setiap anggota masyarakat.
Kepatuhan anggota masyarakat untuk menjaga dan mengamalkan seperangkat nilai (values), bukan semata-mata karena dorongan untuk memperkuat komunitas atau menjaga jati diri dan karakteristik komunitas, tetapi lebih dari itu adalah untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri manusia sebagai makhluk mulia dan bermartabat. Nilai yang diacu masyarakat baik yang berasal dari ajaran agama maupun nilai budaya, akan menempatkan individu dalam komunitas sebagai makhluk berbudaya. Oleh karenanya, esensi budaya tertumpu pada seperangkat nilai yang dipersepsikan oleh seluruh anggota masyarakat, yang mana nilai tersebut dimaknai secara kongkrit dalam setiap prilaku anggota masyarakat. Nilai dimaksud dapat saja berupa nilai moral, nilai kepatutan, nilai etika dan bahkan nilai estetika.
Dalam masyarakat pembentukan nilai yang menjadi acuan setiap prilaku adalah norma (norm) yang berasal dari budaya setempat. Terkadang budaya memang merupakan sumber nilai moral, norma kepatutan, norma etika dan norma estetika. Nilai dasar ini berkembang secara terus menerus dalam konstruksi budaya masyarakat kita. Nilai yang lahir dari perkembangan interaksi sosial budaya masyarakat tidak akan dikonsepsikan sebagai nilai sosial atau budaya setempat aja. Nilai moral, nilai kepatutan prilaku, nilai etika dan estetika masyarakat Indonesia  adalah bersumber dari ajaran agama yang ada di Negara kita.
Busana dalam seting sosial budaya masyarakat Indoneis cenderung dipahami dalam dua perspektif. Pertama, busana atau pakaian merupakan hasil kreasi manusia dalam rangka memaknai ajaran Tuhan yang menghendaki tubuh manusia ditempatkan pada posisi yang mulia dan terhormat. Tubuh manusia sebagai anugerah dan ciptaan Allah memiliki kemuliaan, kesempurnaan dan keindahan, sehingga mengharuskan pemilik tubuh melakukan penjagaan dan perlindungan. Pada sisi lain, tubuh manusia sangat berpotensi dan rawan terhadap segala tindakan yang dapat menjerumuskan dan membawa manusia pada prilaku yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan nilai kemanusiaan. Bahkan derajat dan martabat manusia bisa hancur dan berada pada lembah kehinaan, jika manusia memperlakukan tubuhnya tidak berdasarkan ketentuan budaya ketimuran kita dan syari’at Islam. Kedua, busana sebagai hasil kreasi budaya dalam masyarakat  cenderung mengikuti pola yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat atau trend. Busana masyarakat  yang berakar dari budaya  lokal maupun ajaran Islam dalam lintasan sejarah tidak kaku, akan tetapi dinamis, kreatif dan luwes, sehingga memudahkan masyarakat dalam menjalankan sejumlah interaksi sosialnya.
Busana bukanlah penghambat dari sejumlah aktivitas masyarakat, tetapi busana menjadi pelindung masyarakat. Busana adalah gambaran ciri dan identitas masyarakat, serta lambang kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Desain busana dalam kerangka budaya masyarakat, tetap merujuk pada nilai agama dan nilai moral.  Busana dalam masyarakat  didesaian sesuai dengan karakter masyarakat Aceh, dan diukur dengan nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai tersebut berasal dari ketentuan syari’at Islam baik berupa nilai agama, nilai moral, nilai kepatutan, nilai etika dan nilai estetika. Nilai-nilai tersebut dikonsepsikan oleh masyarakat dan dijadikan standar dalam menilai busana yang digunakan seseorang di dalam berbagai interaksi sosialnya, baik pada masa lalu maupun masa sekarang.

C.  Busana Dalam Konteks Kekinian
Secara alamiah, kehidupan manusia akan terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan kehidupan manusia bisa saja terjadi secara berurut, teratur dan gradual, tetapi dalam realitasnya perubahan dapat juga terjadi secara tidak teratur bahkan cenderung revolusioner. Manusia sebagai makhluk dinamis memiliki sejumlah perangkat dan potensi diri sebagai anugerah Tuhan guna melalukan perubahan dalam kehidupannya. Pendidikan adalah upaya yang ditempuh manusia dalam rangka melakukan perubahan kehidupan, sehingga perubahan itu menempatkan diri manusia sebagai makhluk mulia, bermartabat dan bermoral. Perubahan kehidupan manusia melalui pendidikan ditujukan untuk membangun intelektual, emosional dan spiritual. Perubahan-perubahan ini akan menghasilkan kepribadian dan nilai yang disepakati manusia, sehingga dijadikan rujukan dalam setiap prilaku. Konsepsi dan nilai yang dipegang dan dianut oleh manusia, kadangkala dapat bertahan dalam waktu lama, karena nilai tersebut bersifat abadi, akan tetapi adakala nilai dan konsepsi tersebut menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia yang senantiasai berubah dari waktu ke waktu.
Dan manakala kita lihat dan amati fenomena yang berkembang di tengah- tengah masyarakat masih banyak dijumpai orang- orang berbusana tidak sesuai dengan budaya yang melekat pada tempat ia tinggal. Hal ini tampak dengan jelas terjadi suatu pergeseran nilai budaya, dari budaya ketimuran bergeser menjadi budaya luar khususnya budaya barat atau sebahagian hanya mengikuti suatu trend berbusana yang berkembang tanpa diikuti suatu pengetahuan yang cukup, mereka hanya mengimitasi budaya luar tersebut karena dilihatnya orang tersebut pantas dan indah memakainya dan ia pun mencoba memakainya tanpa memikirkan dampaknya dan menilainya pantas atau tidak pantas untuk dirinya jika ia mengenakan busana tersebut bahkan ada sebahagian yang berpikir jika telah mengikuti trend yang berkembang ataupun berbusana sexsi yang merupakan busana  sebahagian budaya barat maka ia tidak menjadi orang ketinggalan zaman dan bahkan ada yang beranggapan bahwa ia orang yang modern.
Tetapi setelah ia kenakan busana tersebut dan kemudian berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya baru ia berpikir bahwa ia tidaklah pantas mengenakanya kemudian ia tidak mengenakan lagi busana yang sexsi tersebut, tetapi sebahagian lagi ada yang tidak menyadarinya bahwa ia tidak pantas dan sebenarnya tidak siap mengenakan busana tersebut tetapi ia paksakan karena ia melihat orang lain bagus mengenakanya dan ia hanya meniru tanpa berpikir dan ketika busana itu ia kenakan maka tanpak ia tampak sibuk bila sedang duduk dengan rok mininya maka ia ambil sapu tangan, terkadang tasnya atau benda apaun yang ada padanya untuk menutupi aurat belahan pahanya. Dan sebahagian lagi ia merasa gelisah jika pandangan orang tertuju padanya, ini menunjukan bahwa pada dasarnya ia belum siap mengikuti trend maupun budaya berbusana sexsi dalam kehidupanya. Mereka-mereka yang demikian hanyalah korban dari kemodrenan saja bukan orang yang modern.
Perlu untuk diketahui bahwa nilai yang permanen adalah nilai dasar yang bersifat tetap dan umumnya berasal dari budaya lokal dan ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran yang bersifat absolute. Sebaliknya, nilai yang berubah adalah nilai yang dibangun dari interpretasi manusia terhadap budaya dan  ajaran agama, dan nilai ini berhimpitan dengan kebutuhan manusia dalam nuansa kekinian. Dalam studi sosiologi, nilai dasar yang tidak berubah dikenal dengan nilai primer dan nilai turunannya yang dapat berubah, sehingga dapat disesuaikan dengan waktu, dikenal dengan nilai sekunder. Perubahan nilai sekunder di tengah kehidupan manusia dalam konteks kekinian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dunia global yang bercirikan teknologi, informasi dan penuh gerakan pemikiran yang berasal dari dunia luar. Era global yang sarat teknologi dan informasi, menempatkan paradigma manusia dalam kerangka kerja efektif, efisien, ekonomis dan profesional individual dalam malakukan interaksinya. Efektif, efisien, ekonomis dan professional merupakan tatanan baru yang disepakati manusia modern dalam menjalankan kegiatan dan profesinya sehari-hari. Profesi menghendaki adanya keluasan gerak individu dalam menjalankan dan mengembangkan profesionalitasnya. Busana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas manusia, tidak semestinya mengganggu atau menghambat manusia dalam menjalankan aktifitas atau profesinya sebagai makhluk sosial. Busana hendaknya mampu menjadikan diri manusia sebagai makhluk yang luwes, bermartabat dan memudahkan dirinya menjalankan profesinya sehari-hari. Busana janganlah menjadi penghambat aktivitas individu dalam menjalankan profesionalitas keseharian. Meskipun demikian, hubungan antara busana dan profesi manusia dalam kehidupan modern, bukanlah hubungan yang diametris, tetapi hubungan yang simetris. Manusia diberikan kebebasan oleh norma agama, norma, moral, etika dan kepatutan untuk melakukan sejumlah ativitas, namun tetap terjaga dibawah panduan nilai ayang dianut di patauhis serta dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai keadilan dan kebanearan. Oleh karena itu, standard an ukuran busana yang dikenakan setiap individu dalam lalulintas profesi kehidupan modern adalah norna, moral, dan nilai baik etika maupun estetika. Nilai dan norma tersebut dikonsepsikan secara bersama dan diactualisasikan secara bersama pula oleh individu ditengah-tengah masyarakat.

D.  Busana Dalam Persefektif Islam
            Busana dalam kacamata islam merupakan sessuatu pembahasan yang paling penting untuk dibahas dan syari’at islam sangat memperhatikan karena berkaitan dengan aurat. Islam menganjurkan kepada setiap pemeluknya untuk menutup auratnya baik laki- laki apalagi kaum perempuan/ wanita. Rasulullah berkomentar tentang busana wanita tersebut dengan sabdanya “ Wanita adalah aurat kecuali muka dan tepak tangan”. Hadits ini menunjukan bahwa seorang wanita itu harus berbususana yang sopan dengan menutup seluruh bahagian tubuhnya kecuali muka dan telapak tanganya.
            Dan Al- Qur’an memberikan aturan yang baku tentang berbusana dalam Islam sebagaimana firmanya : “Wahai Nabi ! Katakanlah pada istri- istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri- istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, “ yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu dan Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS;  Al- Ahzab : 59 )[1]
“ Katakanlah kepada laki- laki yang beriman, agar mereka menjaga pandanganya, dan memelihara kemaluanya ; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat “. (QS; An- Nur- 30)[2].
“ Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandanganya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasanya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakan perhiasanya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra- putra mereka, putra- putra suami mereka, atau saudara laki- laki mereka, atau putra- putra saudara laki- laki mereka, atau putra  saudara perempuan mereka, atau para perempuan sesame muslim, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak- anak mereka yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah,  wahai orang- orang yang beriman, agar kamu beruntung. (QS; An- Nur : 31 )[3]
            Dari hadits Nabi Saw dan Firman Allah tersebut diatas jelas bagi kita bahwa aurat merupakan hal penting yang harus ditutup dengan busana yang rapi, longgar, dan menutup seluruh anggota tubuh kecuali muka dan tepak tangan. Dengan aurat tidak untuk dipamerkan atau dibuka disembarang tempat yang dapat dilihat oleh siapapun juga, aurat boleh dilihat hanya oleh orang- orang tertentu saja dan dalam batas tertentu pula, dan itu berbusana dalam perspektif Islam, persoalan mode Islam tidak mengekang dengan aturanya tetapi Islam memberikan kebebasan yang seluas- luasnya yang terpinting aurat tubuh tertutup. Dan itu adalah bertujuan untuk membedakan wanita muslimah dengan wanita musyrikin dan gangguan lelaki hidung belang serta dalam rangka menjaga kehormatan kaum wanita itu sendiri.

E.  Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang dianggap layak menjadi perhatian berkaitan dengan busana dalam seting sosial budaya masyarakat dan konteks kekinian. Busana adalah konstruksi budaya yang memiliki sumber dari ajaran agama. Keberadaan busana bertujuan untuk melindungi manusia, menjaga eksistensi diri dan harkat martabat kemanusiaan. Busana sebagai konstruksi budaya bersifat dinamis yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.
Perubahan kehidupan manusia akibat pendidikan, informasi dan teknologi, tidak harus menggugurkan nilai dasar (basic values) yang diakandung busana, tetapi nilai dasar tersebut harus mampu mendorong manusia mengkreasi busana yang sesuai dengan nilai, norma, kepatutan, etika dan estetika manusia sebagai makhluk berbudaya.
Dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh, busana telah diaktualisasikan dalam sejumlah profesi kehidupan, baik pada ranah kehidupan domestik maupun kehidupan publik manusia. Ciri dan karakteristik busana yang dianut suatu komunitas kemungkinan besar berbeda dengan komunitas lain, namun nilai dasar yang bersumber dari ajaran agama dan moral tidak pernah lekang dari busana yang dikenakan oleh masyarakat Aceh. Dalam sejarah, busana masyarakat muslim Aceh, tidak dapat lepas dari situasi sosial, profesi dan persepsi masyarakat yang berkembang untuk suatu kurun waktu tertentu.
Busana islami adalah busana yang modern, busana yang mendukung kreatifitas manusia dan busana yang memiliki nilai etis dan estetis, serta tidak keluar dari prinsip-prinsip ajaran syari’at Islam. Dengan demikian patokan dasar busana yang dikenakan oleh masyarakat muslim adalah : Norma Agama, Moral, Kepatutan, Etika dan Estetika serta Menutup seluruh aurat dari material yang halal, Tidak sempit dan membentuk tubuh, Harus berbeda dengan pemeluk agama lain, Berbeda dengan pakaian laki-laki, Bukan pakaian untuk dibangga-banggakan dan tidak mempesona orang lain.













DAFTAR  PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala E.. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2004

Departemen Agama RI, Al- Quran Dan Terjemahnya, Jakarta, CV. Kathoda. 2006

Devito, Joseph A. Komunikasi Antar manusia Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books. 1997

Dominick, Joseph R. The Dynamick of Mass Communication. New York: Random House. 1990.

Griffin, Emory A.. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill, 2004

Infante, Dominic A, Andrew S. Rancer & Deanna F. Womack.. Building Communication Theory. Long Grove: Waveland Press. 2003

Kholil Syukur, Dr. H. Komunikasi Islam. Bandung: Cita Pustaka, 2007

Littlejhon W. Stephen. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009

MA. Malyana Deddy.Dr, Msc. Rahmad Jalaluddin. Drs. Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009
Matsumoto David, Pengantar Psikologi Litas Budaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004

Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 1987.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur. Wood, JT. Communication Theories in Action. Calofornia: Belmont. 2000.
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
Lecture 24, cultivation theory by George Gerbner.
www.asudayton/edu/com/faculty/kenny/cultivation.html, George Gerbner Cultivation Theory.
Diposkan oleh Robeet Thadi, S.Sos., M.Si di 10:34






[1] . Departemen Agama RI.  Al- Qur’an dan terjemahnya. H.603
[2]  Ibid
[3] . Ibid

Minggu, 29 Mei 2011

Studi Filsafat Islam

 

A. Pendahuluan
Kelahiran filsafat di Yunani pada abad 6-4 SM telah membawa angin peradaban yang sangat berbeda di Eropa. Perobahannya sangatlah  radikal, dari peradaban mitologis ke peradaban rasional. Dan filsafat inipun telah menerpa dunia Islam pada abad ke-2 setelah Rasulullah wafat. Pemikiran-pemikiran dalam filsafat Islam lebih luas dari sekedar  terbatas pada aliran-aliran Aristotelesme Arab saja, tetapi pemikiran filsafat Islam telah muncul dan dikenal dalam aliran-aliran teologi sebelum orang-orang paripatetik dikenal dan menjadi tokoh.

B.     Pengertian dan Istilah-istilah Kunci.
Kata-kata filsafat diucapkan “falsafah” dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa
Yunani, Philosopia yang berarti “cinta kepada pengetahuan”, yang terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut Philosophos atau Failasuf dalam ucapan Arabnya. Selanjutnya kata filsafat yangbanyak dipakai dalam bahasa Indonesia, menurut Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa barat philosophy. Disini dipertanyakan tentang apakah fil diambil dari bahasa Barat dan safah dari kata Arab, sehingga gabungan antara keduanya dan menimbulkan  kata filsafat?
     
C.    Perkembangan Kajian Filsafat Dalam Islam
Filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang banyak dibicaraakan oleh orang
orang Arab adalah filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok ke Islaman.
            Hakikat Filsafat Islam ialah akal dan al Qur’an. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa akal dan al Qur’an. Akal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al Qur’an juga menjadi cirri ke Islamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al Qur’an dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al Qur’an tidak membatasi akal bekerja, akal tetap bekerja sebagai otonomi penuh. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya.

D.  Pro dan Kontra Terhadap Kajian Filsafat dalam Islam (al Ghazali dan Ibnu Rusyd)
Al Ghazali menolak kompetensi “filosofik” untuk memahami kebenaran metafisis.
Bagian yang signifikan dari pengetahuan tentang hal-hal seperti kenabian dan psikologis spiritual baginya hanyalah kebenaran pinjaman yang diambil dari nabi dan orang suci.  Al-Ghazali berusaha membuktikan keterbatasan metode “folosofik”. Dia berpendapat bahwa ilmu-ilmu metafisis para filosof tercemari oleh kesesatan-kesesatan dan ketidak-konsistenan. Kekeliruan dan ketidak-konsistenan ini, kata al Ghazali memperlihatkan kemustahilan mencapai keyakinan akan kebenaran-kebenaran metafisis melalui “filosofik”.
            Tiga pikiran filsafat  metafisika yang menurut al Ghazali sangat bertentangan dengan Islam, dan karena itu para filosof harus dinyatakan sebagai orang ateis, ialah :
1.      Qadimnya alam.
2.      Ilmu Tuhan tentang hal-hal kecil.
3.      Kebangkitan jasmani.
Ibnu Rusyd menanggapi kritikan al Ghazali dalam buku Tahafut al Falasifah telah
menyerang  para filosof. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan menundukkan masalah tersebut pada proporsinya. Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut at Tahafut. Buku itu mengisyaratkan bahwa al Ghazali lah yang sebenarnya kacau dalam berfikirnya.