Kamis, 28 April 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM

Oleh :  Abdul  Yajib

A.    TEOLOGI
Teologi dari segi etimologi mempunyai pengertian “Theos” artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu (science, studi, discourse). Jadi teologi berarti ilmu tentang Tuhan atau ilmu “Ketuhanan” Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al kalam, teolog dalam Islam diberi nama mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata. Teologi  adalah  merupakan ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam  adalah  ilmu yang membahas ushul sebagai suatu aqidah tentang ke- Esaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.
Jadi teologi disebut juga ilmu tauhid karena yang dibicarakan adalah tentang keesaan Tuhan, disebut ilmu aqaid karena yang dibahas tentang ikatan seorang hamba dengan tuhannya

Teologi               Tauhid               Ilmu Kalam               Aqaid               Ushuluddin

Pada saat ini ruang lingkup dari pembahasannya teologi sudahlah sangat luas dan semakin spesifik karena teologi tidak hanya membahas masalah Tuhan saja tetapi juga manusia dan alam                                                        
                                                    Allah



                                                Alam               Manusia/ Insan

Ringkasnya, teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu  ataupun  berdasarkan penyelidikan akal murni. Dengan demikian teologi sangatlah penting untuk dipelajari sebagai modal dasar dalam mengenal Islam, Tuhan dan bagaimana hubungan Tuhan dengan manusia sebagai makhluk yang diciptakannya.
Pada zaman Rasulullah, teologi sebagai ilmu belum dikenal orang, teologi masih dalam kontek ajaran sekalipun para ulama sependapat bahwa  teologi  adalah dasar utama dan pertama dalam ajaran Islam. Karena keimanan pada zaman Nabi ditanamkan oleh beliau melalui sikap dan tingkah laku bertauhid yang benar dan bila muncul suatu masalah dapat ditanyakan langsung kepada Nabi sendiri. Sehingga Pertumbuhan Pemikiran teologi Islam pada masa Rasulullah Saw belum timbul yang pada masa itu beliau sebagai nabi yang  senantiasa dibimbing oleh wahyu Allah SWT, sehingga semua persoalan/ masalah yang ada dapat terselesaikan secara tuntas
Munculnya  aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw, dimana setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah  mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.
Setelah Usman wafat,  Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan  kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh- pembunuh Usman, bahkan ia menuduh bahwa Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin (Irak), yang terkenal dengan perang Siffin pada 1 Shafar 37 H. Tentara Ali dapat memdesak tentara Mu’awiyah, tetapi tangan kanan Mu’awiyah yaitu Amr Ibn Ash yang terkenal sebagai orang yang licik minta berdamai dengan mengangkatkan al-Quran ke atas. Imam-imam yang ada dipihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan rapat umum/hakam (arbitrase) pada bulan Januari 659 M di Adhruh, tentara Ali mendesak tentara Mu’awiya sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk lari. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah.Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan Ali yang telah di umumkan Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Peritiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Khalifah yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah.           
            Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu idak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat salah , oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dan Khawarij.karena selalu mendapat serangan dari kedua pihak ini Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan Khawarij. Setelah Khawarij kalah Ali terlalu lelah untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
            Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al- Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir. Karena keempat Seperti dijelaskan pada pembahasan terdahulu bahwa dalam Islam persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi, tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Persoalan orang berbuat dosa mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi Islam. Persoalan ini menimbulkan aliran- aliran Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.
Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian  masalah yang tidak didasarkan kepada al Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak memutuskan hukum dengan al Qur’an  adalah kafir. Dengan demikian orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena mereka murtakib al Kabirah atau “ pendosa besar
Kemudian  muncul aliran baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu’tazilah yang berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).  Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran rasional ke dunia Islam  pada abad kedua Hijriah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam. Mu’tazilah mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan akal di tempat yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat kaum tradisional.
Persoalan orang-orang berbuat dosa inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan Teologi / Ilmu Kalam selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah: Masihkah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu?
Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam yaitu:
1.      Aliran Khawarij, mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.
2.      Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.      Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi).
Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi’ah. Menurut Watt, Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah yang di kenal dengan perang Siffin.  Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali kemudian disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali kemudian disebut Khawarij .
Dalam Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan perbuatannya.

B.     HUKUM  ISLAM
Pembahasan  masalah  hukum Islam tidaklah kalah pentingnya dengan pembahasan teologi. Karena  pada tataran Sumbernya  hukum  Islam  itu  yaitu                  Al- Qur’an dan Sunnah   ( Al- Hadits ) namun  Al- Qur’an sebagai  sumber hukum Islam sangatlah  membuka peluang Ijtihad  terutama pada ayat- ayat  Syar’i yang mutasabihat  kemudian  melahirkan beberapa aliran dalam  penetapan hukum  yang dikenal dengan mahzab
                                       Al- Qur’an / Hadits                              
 
                                             Ijtihad Ulama
 


   Mahzab Maliki             Mahzab Hambali            Mahzab Syafi’i            Mahzab Hanafi

Dengan demikian fiqih adalah merupakan pemahaman para ulama tentang Al- Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dengan kata lain fiqih adalah hukum turunan dari kedua sumber hukum Islam yaitu Al- Qur’an dan Hadits. Maka wajar dalam ijtihad mereka selalu berbeda pendapat dalam penetapan hokum yang pada akhirnya melahirkan beberapa mahzab dalam  Islam dan mahzab besar yang terkenal diantaranya Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi.

C.     MISTISISME DAN  FILSAFAT
Mistisisme atau dikenal juga dengan tasawuf merupakan bagian dari pembahasan kajian ke- Islaman, yang berkembang seiring dengan percampuran ajaran Islam dengan filsafat dan budaya yang bertujuan untuk mencapai kebenaran dengan jalan ruhaniyah/ hati, mencari keberadaan Tuhan ( Allah ) sehingga tercapainya penyatuan jiwa yang suci dengan tuhan yang maha suci dengan berbagai metode yang dilakukan sehingga melahirkan aliran- aliran dalam dunia tasawuf  yang dikenal dengan tariqat.
Tariqat berarti jalan yaitu jalan untuk sampai kepada Allah dengan berbagai tahapan yang harus dilalui seorang sufi, jadi antara tasawuf dengan tariqat saling berhubungan kalau tasawuf  bersifat pribadi sedang tariqat bersifat kelompok/ berjama’ah. Tujuan utama dari adalah tazkiyatun nafsi dan takaruf  ilallah dalam menumbuhkan mahabbah kepada Allah
                                             Allah
                                                            Mahabbah
                                                                   Muraqobah
                                                                 Berzikir / Mengingat Allah
                                                                  Berserah diri/ pasrah
                                                                  Mengekang nafsu
                                                                   Bai’at
                                                                   bertobat 
                                                 Manusia

            Adapun beberapa aliran tariqat yang termasyhur diantaranya adalah :
1.       Tariqat Naqsabandiyah
2.      Tariqat Satariyah
3.      Tariqat Qadariyah
4.      Tariqat Rifa’iyah
5.      Tariqat Samaniyah
6.      Tariqat Khalawatiyah
7.      Tariqat Al- Hadad
8.      Tariqat Khalidiyah
9.      Dll
Selain mistisisme atau tasawuf  filsafat juga berkembang dalam dunia Islam terutama sejak banyaknya buku- buku yunani yang diterjemahkan  kedalam bahasa arab, karena ilmu filsafat berasal dari Yunani. Pada awal perkembangannya banyak ulama Islam yang menolak kehadiran filsafat tetapi pada masa puncak perkembangan filsafat sangat banyak lahir para filosof muslim diantaranya Al- Kindi, Al- Farabi, Ibnu Sina, Al- Ghazali walaupun pada akhir hayatnya beliau meninggalkan filsafat beralih kepada tasawuf, dan lain- lain.  Dan filsafat yang mereka tekuni dan bawa adalah filsafat Islam yang mempuyai hakikat akal dan Al- Qur’an.
Dikatakan filsafat Islam karena hasil dari pemikiran para filosof adalah tentang tuhan, kenabian, manusia dan alam yang disinari dengan ajaran Islam dalam  kerangka  berfikir yang logis dan sistematis. Dan saat ini perkembangan ilmu filsafat lebih banyak cabangnya lagi dan lebih spesifik sesuai dengan disiplin ilmu yang berkembang.


D.    POLITIK PEMURNIAN DAN PEMBAHARUAN
Dalam  perkembangannya ajaran Islam banyak mengalami pergeseran- pergeseran nilai sehingga banyak menimbulkan penyimpangan- penyimpangan dalam memahami ajaran Islam sehingga banyak menimbulkan aliran- aliran sempalan atau sesat dalam Islam, yang cirri- cirinya ajarannya bertentangan dengan Al- Qur’an dan Sunnah/ Hadits, disebarkan secara sembunyi- sembunyi/ tidak terang- terangan, mempunyai nabi selain Nabi Muhammad dan lain- lain.
Selanjutnya dengan banyaknya muncul aliran sesat atau penyimpangan- penyimpangan tentang ajaran Islam menjadi pemicu munculnya gerekan pembahruan dalam ajaran Islam yang menginginkan kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya sebagaimana dulu dengan berbagai gerakan- gerakan pemurnian ajaran agama sehingga muncullah tajdid/ mujaddid islam, yang melahirkan aliran Salafi. Salafiyah berarti  suatu upaya pengembalian ajaran Islam sebagaimana pada masa Rasul, sahabat dan tabi’in, tabi’in- tabi’in dalam memahami Islam. Tokoh- tokoh salafi diantaranya, Ibnu Taimiyah, dan Abu Abadullah bin Qoyyim.  Selain salafi muncul juga faham Wahabi yang dipelopori oleh Syekh Muhammad bin Abdul WahabAt- Tamimi Al- Nadji, beliau besar dilingkungan faham hambali dan memiliki ketegasan terhadap berbagai kemusyrikan yang menyimpang dari ajaran agama, dan faham Wahabi ini berupaya mengembalikan ajaran Islam pada porsi yang sebenarnya dengan menjaga kemurnian ajarannya baik dalam Aqidah maupun Ibadah dan muamalah.




Selasa, 26 April 2011

Pendekatan Komparatif Dalam Studi Islam


A.  Pendahuluan
ketika Islam menjadi suatu kajian, maka yang harus diketahui ialah dimana agama didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, agama juga bersifat transcendental. Pada tataran pertama, agama dipandang sebagai gejala budaya dan sosial sementara pada tataran yang kedua agama sebagai hal yang bersifat normative-doktrinal. Dengan mengetahui hal tersebut, maka pengkaji akan mengetahui pada sisi mana agama akan dijadikan sebagai objek kajian.[1] Setelah objek kajian jelas, hal yang perlu kemudian diketahui ialah bagaimana cara pengkaji mendekati objek tersebut.

B.  Pengertian Pendekatan Komparatif
            Middleton, guru besar antropologi di New York University, berpendapat bahwa penelitian agama (research on religion) dengan penelitian keagamaan (religious research) memiliki perbedaan. Pertama lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya pada tiga elemen yaitu ritus, motis dan magik. Kedua, lebih menekankan pada agama sebagai system keagamaan (religious system).[2] Dalam pandangan Amin Abdullah agama pada saat ini tidak dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata, sebab ada pergeseran paradigm dari pemahaman yang berkisar pada doktrin kearah entitas sosiologis, dari diskursus esensi kearah eksistensi.[3]

C. Penggunaan Pendekatan Komparatif dalam Tradisi Intelektual Islam       
     (Muqaranat al Madzahib, Milal, Firaq)
            Sarjana muslim abad pertengahan menulis risalah tentang agama dan sekte- sekte agama dilatarbelakangi beberapa factor, diantaranya adalah faktor ideologis, politis dan intelektual. Hal ini terlihat dari ketika ekspansi Islam sampai ke beberapa wilayah strategis di Asia, Afrika maupun wilayah Eropa yang semakin meluas. Seiring dengan itu, kebutuhan untuk mengenal agama-agama lain menjadi sesuatu yang tidak terhindari.[4] Terlepas dari tujuan politis maupun ideologis, beberapa sarjana muslim telah melakukan observasi lapangan tentang agama dan komunitas agama di daerah tersebut.

            D. Tokoh dan Karya Utama
            Diantara  karya-karya besar kajian ke Islaman mulai dirintis dan dikembangkan oleh sarjana, teolog dan heresiograf muslim. Abu Rayhan al-Biruni (w. 1048), Ibn Hazm (w. 1064), dan ‘Abdul Karim al-Syahrastani (w.1153), adalah tiga nama yang cukup dikenal dibidang ini. Ketiganya bahkan dianggap sebagai tokoh utama dalam bidang kajian agama-agama dan heresiografi yang merepresentasikan generasi sarjana muslim di tiga wilayah berbeda. Al-Biruni merupakan sarjana kenamaan asal Kwarizm (Uzbekistan) yang menelurkan banyak karya dibidang sains., ia juga menulis peradaban dunia yang berkaitan dengan agama dan filsafat. Ibn Hazm merupakan generasi emas telah menulis karya-karyanya dalam bidang hokum, polotik, sastra dan agama-agama. Sementara itu al Syahrastani, filsuf dan sekaligus teolog besar Asy-‘ariyah pasca al-Ghazali menyempurnakan model analisis heresiografi yang telah ditulis sarjana muslim sebelumnya.

E. Pendekatan Komparatif dalam Studi Agama
            Dalam kajian studi agama, pendekatan dapat dilakukan dengan beberapa hal, yaitu pendekatan antropologis, pendekatan teologis, pendekatan psikologi dan pendekatan sosiologis.



F. Pendekatan Komparatif dalam Studi Islam
            Islam sebagai agama tentu saja bisa diteliti secara detail menyangkut apa saja yang terkait didalamnya, mulai dari cara bertuhan, sampai beramal. Apalagi kalau persoalan agama ini menyangkut lebih dari satu agama, sudah barang tentu studi pendekatan agama merupakan keharusan ilmiah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dalam hal ini ada dua pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu pendekatan filologi dan sejarah pendekatan fenomenologi dan pendekatan fenomenologi.

G. Signifikasi dan Kontribusi Pendekatan Komparatif dalam Studi Islam
            Secara umum studi agama memiliki tugas nyata untuk mengatasi kecenderungan balkanisasi, baik didalam studi area atau tradisi naupun metodologi. Pendekatan komparatif telah memberikan kontribusi bagi pengkaji agama dalam melakukan studi keagamaan selain pendekatan teologis normatif. Studi agama sekarang dapat didekati melalui pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, historis, filosofis dan kebudayaan.

H. Penutup
            Pendekatan komparatif dalam studi Islam adalah pengkajian yang dilakukan dengan melihat sisi perbedan dan menjadikannya sebagai bahan kajian. Dalam kaitan ini akan dijumpai dua inovasi utama, yaitu: pertama, penyelidikan atas perkembangan teologis yang konvergen (mengarah pada ttitik temu). Kedua, upaya-upaya kontemporer untuk membandingkan teologi-teologi. Dengan memahami, menganalisis dan membandingkan ajaran, konsep, dan pandangan dari suatu agama, akan jelas terlihat.




[1] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 11-12.
[2] Mudzhar, Pendekatan, h. 35
[3] Amin Abdullah, Studi Agama; Noratifitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 9.
[4] Buku yang mengulas persebaran Islam di beberapa wilayah tersebut antara lain T.W. Arnold, The Preaching of Islam: a History of the Propagation of the Muslim Faith (Lahore: Kasymiri Bazar, 1961).

Senin, 25 April 2011

STUDI ISLAM DALAM PETA PENGETAHUAN ILMIAH


Oleh : Abdul Yajib


A.    Pendahuluan
Berbicara masalah kajian tentang Islam tidak hanya terkait dengan persoalan ketuhanan atau keimanan saja, akan tetapi kajian keislaman  mencakup juga tentang sejarah kebudayaan Islam.
Dan kajian ilmiah tentang Islam dapat dibedakan antara Islam yang merupakan sebagai sumber dan Islam sebagai pemikiran serta fenomena sosial. Islam sebagai sumber bagi umat Islam adalah mutlak, doktrinal dan harus diterima kebenarannya. Sedangkan Islam sebagai pemikiran dan fenomena sosial, bersifat relatif, rentan terhadap perubahan.
Agama Islam, di samping sebagai keyakinan yang dianut oleh manusia dengan corak spritualnya, juga harus dipelajari sebagai objek kajian Ilmiah yang menarik. Alasannya adalah, Agama dapat mempengaruhi semangat kerja, semangat juang dan berkorban bagi pemeluknya. Bahkan menjadi kekuatan pendukung atau penghancur sebuah rezim.              Di beberapa perguruan tinggi, kajian tentang Islam telah menjadi bagian kajian ilmiah. Misalnya Ms Gill University, Sarbonn University, dan lain-lain.
Pada bagian berikutnya kajian Islam berkembang, tidak hanya mengkaji tentang ketuhanan, tetapi juga mengkaji tentang ilmu-ilmu kealamam, sosial serta kemanusiaan. Pada kesempatan ini pemakalah ingin menguraikan secara ringkas keberadaan studi Islam dalam kajian ilmiah, hubungan dan implikasinya terhadap bidang ilmu kealaman, sosial, dan humaniora, studi Islam dalam tiga kelompok ilmu tersebut serta bagaimana pendekatan inter-disiplin dan multi-disiplin ilmu-ilmu ini dalam studi Islam.

B.     Klasifikasi ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan dari aspek pragmatis terbagi kepada dua. Pertama  ilmu kealaman seperti: Fisika, Kimia, Biologi yang bertujuan mensari hukum-hukum alam atau mensari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Kedua ilmu budaya yang mempunyai sifat tidak berulang. Di antara kedua ilmu itu terdapat pula ilmu sosial yang mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan sara memahami keterangannya[1]. Sedangkan ilmu pengetahuan manusia berdasarkan kepada klasifikasi ilmu menurut objek ilmu pengetahuan terbagi pada tiga bagian. Yaitu; Ilmu-ilmu Alam, Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora.

a.      Ilmu-ilmu alam
Telah merupakan kenyataan yang tak tergoyahkan lagi bahwa pemikir ilmiah selalu berada di belakang setiap kemajuan yang disapai oleh manusia dari masa kemasa. Langkah pertama dimulai ketika manusia menemukan bagaimana caranya belajar melalui cara mencoba-coba (trial and arror), dan cara ini pada akhirnya membimbing manusia kepada pengetahuan yang ilmiah, yaitu pengetahuan yang melibatkan observasi dan eksprimentasi dan mencakup ilmu-ilmu kealaman dasar seperti kimia, fisika, matematika, astronomi, geologi, botani dan zologi, bersama dengan bentuk-bentuk terapannya dalam bidang pengobatan, pertanian, permesinan, farmasi, kedokteran hewan, dan lain-lain[2].
            Dalam sejarah ilmu pengetahuan, filsafat adalah pengetahuan yang pertama lahir. Dalam tema-temanya, filsafat inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang alam. Sehingga para ahli filsafat pada waktu itu disebut  filosof alam. Seperti: Anaximandros, Anaximenes, Thales. Mereka memikirkan tentang alam besar ( makro kosmos) yang dimulai dari pertanyaan tentang asal alam[3]. Dari perkembangan filsafat munsullah disiplin ilmu lainnya yang relative mandiri dan bidang tertentu. Seperti ilmu kealaman yang merupakan disiplin ilmu yang pertama sekali muncul dari perkembangan filsafat.
Ilmu kealaman yang disebut juga dengan “Natural Scienses” adalah ilmu yang mempelajari tentang susunan benda-benda serta perkembangannya[4]. Sumber dari ilmu ini adalah alam. Manusia yang merupakan makhluk sapiens didorong oleh kebutuhan dan rasa ingin tahunya, mengerahkan kekuatan akalnya untuk menyingkap rahasia alam. Agar pengetahuannya itu dapat dipertanggungjawabkanb kebenarannya, maka dia menetapkan kriteria-kriteria yang benar yang disebut dengan metodologi ilmiah, yaitu menggabungkan cara berfikir deduktif dan induktif. Dengan cara yang seperti ini, maka manusia dapat menyingkap rahasia alam yang melahirkan berbagai disiplin ilmu. Seperti, Kimia, Fisika, matematika, Biologi, Antropologi fisik, Geologi, Astronomi, ilmu kedokteran[5] dan ilmu-ilmu alam lainnya.
Ilmu-ilmu kealaman disebut juga ilmu-ilmu eksakta (ilmu pasti)yang kebenarannya pasti, walaupun dalam kenyataan sosiologisnya bersifat kebenaran probabilistis. Yaitu sebuah teori keilmuan yang saat ini dianggap benar, namun besar kemungkinan pada saat yang  lain terori tersebut akan di tumbangkan oleh teori yang datang belakangan.
Inti dari ilmu kealaman ini adalah fositivisme, sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat diamati (observable), dapat diukur (measurable) dan dapat dibuktikan (veriviable)[6]. Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai siptaan ia bersifat teleologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugrah, alam adalah tempat yang baik dan tidak ternoda bagi manusia. Tidak ada jurang pemisah di alam. Tidak ada objek atau kejadian di alam ini terjadi secara kebetulan. Semua kejadian yang terjadi dengan sebab akibat yang dapat diperkirakan. Inilah sebabnya mengapa alam adalah kosmos yang nyata, bukan shaos yang membiarkan terjadinya sesuatu tanpa akibat, atau kadang-kadang berakibat, kadang-kadang tanpa akibat[7].
            Jadi jelaslah bagi kita bahwa di dalam Islam, alam merupakan ciptaan Allah untuk manusia. Manusia di suruh untuk memelihara dan melestarikan alam ini dengan baik dan tidak boleh merusaknya.

b.      Ilmu-ilmuSosial
Dinamakan sebagai ilmu- ilmu sosial adalah  karena ilmu- ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajarinya. Ilmu-ilmu sosial belum mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil yang tetap yang diterima oleh sebagian besar masyarakat, karena ilmu-ilmu tersebut belum lama berkembang. Dan  yang menjadi objek dari ilmu- ilmu sosial ini  adalah  masyarakat/ manusia yang selalu berubah-ubah. Karena sifat masyarakat selalu berubah-ubah, hingga kini belum dapat diselidiki dan dianalisa sesara tuntas hubungan antara unsur-unsur di dalam masyarakat sesara mendalam[8]. Mengenai pengertiannya, menurut Dr. Nursid Sumaatmadja menjelaskan bahwa ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai semua  bidang ilmu pengetahuan yang mengenai manusia dalam konteks sosialnya atau sebagai anggota masyarakat[9].
Prof. Dr. P.J. Bouman mendefinisikan ilmu sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perhubungan-perhubungan sosial antara manusia dengan manusia, antara manusia dan golongan manusia, serta sifat dan perubahan- perubahan dari bangunan dan buah fikiran sosial. Ia berusaha mensapai sintesis antara ilmu jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial, sehingga dapat memahami kenyataan masyarakat dalam hubungan kebudayaan umumnya[10].
Untuk memperoleh suatu gambaran tentang ilmu sosial itu adalah dengan cara  menyusun kriteria sebagai berikut:
a. Perlu merinci isi ilmu sosial tersebut secara kongkrit.
b.  Merinci apa yang dianggap sebagai sebab-sebab khusus dari variabel-variabel   tergantung.
c. Teknik-teknik apakah yang lazim dipakai oleh masing-masing ilmu pengetahuan untuk mendapatkan kebenaran atau untuk mencapai sasarannya. Hal ini mencakup metode dan teknik penelitian tersebut11.

c.       Humaniora
Pembahasan mengenai humaniora, tidak jauh berbeda dengan ilmu sosial, sebab humaniora juga menempatkan manusia sebagai objek kajiannya. Perbedaan yang sangat tipis antara ilmu sosial dan humaniora adalah, ilmu sosial mengakaji tingkah laku manusia dengan manusia lainnya ketika dia berinteraksi. Sedangkan humaniora adalah mempelajari aspek etis dari inter aksi itu atau aktualisasi dari potensi manusia dalam wilayah fikiran, rasa, dan kemauan12.
Menurut Prof. Dr. T. Jasob, humaniora adalah Ilmu-ilmu “kejiwaan” (Geisteswissensshaften,”spiritual” scienses) dikurangi dengan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu perilaku (sebagian), atau dengan lebih fositif, ia mencakup bahasa dan sastra, sejarah kebudayaan, filsafat dan etika, hukum serta agama (teologi). Dengan pendidikan saya maksudkan edukasi, jadi meliputi pendidikan intelektual maupun etika. Dengan perkataan lain, lebih luas dari pada pengajaran dan latihan. Dengan pendidikan manusia diproses menjadi manusia dewasa yang utuh untuk kehidupan, di samping dilatih menjadi tenaga kerja untuk penghidupannya; jadi dia dipersiapkan agar adabtable terhadap lingkungan masa depan. Tidak hanya untuk lingkungan masa kini13.

Ilmu-ilmu kealaman berbeda dengan ilmu-ilmu sosial dan Humaniora, meskipun objek kajiannya sama-sama alam. Alam yang diteliti oleh ilmu-ilmu kealaman adalah alam besar atau disebut juga makro kosmos. Alam besar yang dimaksud adalah Bumi. Sedangkan alam yang dikaji atau diteliti oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora adalah alam kesil atau disebut dengan mikro kosmos. Alam yang dimaksud adalah manusia.
            Ali Syariati mengatakan bahwa Pada hakikatnya tidak ada kesepakatan defenisi yang logis dan tepat tetang siapa manusia itu, karena defenisi seperti itu selalu berubah sesuai dengan perspektif ilmu pengetahuan, aliran filsafat, atau keyakinan keagamaan. Di samping itu juga ilmu pengetahuan belum bisa mengungkap misteri yang ada pada makro kosmos ini. Sebagaimana Alexis Sarrel mengatakan: “ sampai sedemikian jauh manusia telah dihadapkan pada masalah-masalah lahiriyah belaka, dan memang mensapai kemajuan dibidang tersebut, tetapi ia telah jauh dari dirinya sendiri dan melupakan realitas pribadinya”14.           
            Dan oleh sebab itu maka sampai saat ini belum ada metode yang dianggap cukup tepat untuk memahami dimensi kemanusiaan manusia tersebut. Munculnya psikologi mengindikasikan betapa sulitnya membuat metode dan pendekatan yang relatif cocok untuk menguak rahasia manusia.

C.    Studi Islam dalam kajian ilmiah
Selanjutnya dapat dilihat bagaimana Studi Islam dalam peta pengetahuan ilmiah,  yang dapat dimulai dengan menjelaskan apa maksud dari Studi Islam tersebut.
Studi Islam (Islamis studies= Dirasah al-Islamiyah) atau studi ilmiah tentang Islam adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah,  khususnya  dalam konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam sering diistilahkan dengan “ Islam pada tiga tingkatan “.  Yang pada dasarnya studi- studi ke- Islaman tidak pernah terlepas dari salah satu tingkatan ini, baik pada tataran wahyu, pemahaman atau pemikiran dan pengamalannya dalam masyarakat.
Islam sebagai wahyu adalah suatu hal yang sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam Al- Qur’an al- Karim. Maka dalam memahami islam sebagai wahyu adalah suatu hal yang sangat esensial dalam kajian- kajian ke- Islaman. Dan studi Tafsir             Al- Qur’an al- Karim adalah merupakan salah satu contoh studi Islam pada tataran yang pertama ini.
Pada tataran selanjutnya, yakni Islam sebagai pemikiran atau pemahaman, memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya dengan Islam sebagai wahyu. Banyak perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan perdebatan dalam tataran ke-dua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang manusia, apakah ia mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah ini ramai diperbincangkan oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya.     Selain itu, mengkaji proses Mu’tazilah yang kemudian menganut paham free-will juga termasuk dalam kajian Islam sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang ada dalam ayat puasa kemudian diartikan menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi Islam pada tataran ke-dua.
            Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti Alquran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya.
            Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai pengamalan berangkat dari pertanyaan dasar: bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan Islam?. Dari kajian ke-Islaman pada tingkat ke-dua dan ke-tiga inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu masyarakat, daerah, bangsa atau etnis Islam.
            Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta, contoh kajian pada tataran ini adalah “pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah”,  dan lain sebagainya. Dalam kajian-kajian ke-Islaman, tiga tataran ini memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalah pahaman antara pengkaji dengan pembacanya.
Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat diopservasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersubjektif dan inter-disiplin.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipothesis dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam.
Studi Islam juga memakai beberapa pendekatan tertentu dalam kajiannya layaknya ilmu-ilmu lainnya. Objek-objek studi Islam bisa didekati dengan pendekatan sosiologis, antropoligis, psikologis dan lain sebagainya.
Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dikatakan ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainya. Dengan demikian diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis.
Namun walaupun demikian, ternyata ada juga beberapa kendala menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu saja pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam dan memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya- misalnya, kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapi beberapa syarat-syarat keilmiahan seperti pengujian intersubjektif dan lain sebagainya.
Selain itu, bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional, ada beberapa objek, yang terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain. Seperti Sejarah Islam, bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juga merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan dalam pandangan mereka, khususnya dalam pemahaman sarjanawan Barat.
Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah bahwa kerangka dan langkah-langkah metodologi sebuah kajian tidak harus sama dengan kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian ke-Islaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian seperti yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. Dan  yang dikaji secara ilmiah dalam Islam adalah sejarahnya, baik sejarah pemikiran maupun sejarah kebudayaan dan peradaban. Dalam kaitannya dengan ilmu yang telah diterangkan diatas, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora, ketiga ilmu ini dapat dikaji dalam Studi Islam. Kita sudah  mengetahui bahwa sumber ilmu itu dari Tuhan. Tuhan mensiptakan alam jagad raya ini serta segala isinya untuk manusia yang yang diwahyukan Tuhan kepada UtusanNya. Alam jagad (termasuk di dalamnya manusia) adalah ensiklopedi dari wahyu, dan wahyu adalah kamus (thesaurus) dari alam jagad15.

D.    Pendekatan Inter-disiplin dan Multi-disiplin
Ketiga tataran objek kajian ke-Islaman seperti yang dikemukan diatas dapat dikaji dengan dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan historis, sosiologis, antropologis, psikologis, pendekatan wilayah, fenomenologis, komparatif dan post-modernisme.
Interdisiplin pendekatan akan terjadi bila sebuah objek sebuah displin ilmu didekati dengan pendekatan disiplin ilmu lainnya, sebut saja gabungan pendekatan sosiologis dan historis, atau sosiologis dengan psikologis. Contoh kajian yang menggunakan dua pendekatan adalah sosiologi sastra dimana ilmu kesastraan didekati dengan pendekatan sosiologis, kajian ini akan mempelajari aspek-aspek sturuktur masyarakat dalam sebuah karya sastra, sejarah sosial ummat Islam. Politik hukum Islam, dan lain sebagainya. Seperti yang dipaparkan diatas bahwa objek kajian-kajian ke-Islaman bisa didekati dengan beberapa pendekatan. Aspek hukum Islam bisa didekati dengan pendekatan psikologis atau sosiologis atau fenomenologis. Interdisplin ini sungguh berguna bagi kajian-kajian ke-Islaman, karena sebuah objek kajian akan dapat dipahami dengan lebih detil, dan seringkali kajian ke- Islaman yang menggunakan sebuah pendekatan tidak bisa menjelaskan sebuah penomena, lalu bisa dijelaskan dengan kajian yang mengambil objek yang sama tapi dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.16
Sejarah Islam saja tidak akan bisa menjelaskan kenapa Ali tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk tidak berdamai dengan Mua’wiyah pada kejadian tahkim, kenapa para Qurra (pendukung dan tentara Ali) memaksa untuk berdamai, padahal ia adalah pemimpin sah, menantu dan sepupu Rasul, termasuk orang paling dihormati, pintar dan termasuk salah satu orang yang paling dahulu masuk Islam, kecuali bila didekati dengan pendekatan sosiologis. Kajian sejarah sosial ternyata bisa menjelaskannya dengan baik dengan mengemukakan bahwa ternyata pendukung Ali adalah orang-orang Arab Selatan yang tidak pernah hidup  dengan administrasi negara yang mapan, selalu terjadi pergantian pemimpin dalam kurun waktu yang singkat, badui, dan hidup miskin.17
Sedangkan multi-displin akan muncul bila sebuah kajian sebuah disiplin ilmu didekati dengan dua pendekatan displin ilmu yang berbeda. Seperti hukum didekati dengan sejarah dan sosial yang kemudian menghasilkan kajian sejarah sosial hukum Islam.
Seperti dengan interdisiplin ilmu, multi displin ini juga sangat berguna dalam menjelaskan sebuah fakta. Sebagai contoh, ilmu hukum Islam tidak membahas bagaimana hukum tersebut berkembang, lalu untuk menjawab pertanyaan itu maka digunakanlah pendekatan interdisiplin yakni sejarah hukum Islam, akan tetapi juga sejarah hukum Islam tidak bisa menjelaskan kenapa  tiba-tiba muncul Bukhori, Muslim, Abud Daud dan sebagainya yang dengan begitu semangat menghabiskan hidupnya untuk mencari hadist langsung kepada “sumbernya”. Lalu untuk menjelaskan fakta sejarah tersebut kajian sejarah hukum ini kemudian didekati dengan pendekatan sosiologis yang kemudian berhasil menjelaskan bahwa ternyata setelah Syafi’I mendapatkan kondisi hukum yang didasarkan pada sumber yang tidak bisa dibuktikan keasliannya kepada nabi, maka Syafi’ipun merumuskan u¡ul fikihnya dengan menyatakan bahwa hukum harus mempunyai sumber yang bisa dibuktikan berasal dari Alur’an atau Hadist, sementara pada saat itu hadist yang terbukti berasal dari Rasul sungguh sedikit, kebanyakan hanya opini bahwa sebuah perkataan yang mereka pakai sebagai sumber adalah hadist karena Rasul pasti mengatakan hal-hal baik.18 Dengan pengaruh Syafi’I masyrakat hukumpun berubah dan menginginkan hukum yang orisinil, dan hukum yang orisinil harus berdasarkan sumber yang terbukti orisinil, maka tidak lama kemudian muncullah orang yang dengan semangatnya mau mengumpulkan hadist dengan segala pembuktian keasliannya.
Suatu disiplin ilmu memiliki otonom di dalam dirinya, namun karena gejala kehidupan yang dideskripsikan dan dijelaskan oleh ilmu tersebut merupakan satu kesatuan yang kompleks, serta tingkat perkembangan dan kemampuan disiplin itu bervariasi, disiplin ilmu itu tidak dapat melepaskan diri dari bantuan dan kerjasama dengan ilmu lain. Terlebih bila gejala kehidupan itu akan dijelaskan secara komprehensif, maka terjadi adhesi dan kohesi, bahkan integrasi antar disiplin ilmu. Berkenaan dengan hal itu, penelitian antar disiplin merupakan penggabungan unsur informasi dan unsur metodologi dari dua atau lebih disiplin ilmu dalam suatu program atau kegiatan penelitian. Adapun penelitian multi-disiplin merupakan kegiatan penelitian menurut disiplin ilmu masing-masing, kemudian digabungkan secara eksternal sebagai satu kesatuan.19 Pengkajian Islam secara sintetik yang berorientasi pada tranformasi psikologi telah berkembang pada pengkajian-pengkajian secara analitik yang berfungsi pada level yang objektif untuk transformasi kemasyarakatan.
Hanna Djumhana Bastaman memberikan beberapa pola pemikiran “Islamisasi sains” berkaitan dengan inter-disiplin dan multi-disiplin sebagai berikut :
a. Similarisasi           : Penyamaan konsep.
b. Paralelisasi            : Memparalelkan konsep.
c. Komplementasi    : Saling memperkuat satu sama lain.
d. Komparasi            : membandingkan konsep atau teori.
e. Induktivikasi        : Menghubungkan prinsip agama kepada asumsi-asumsi.
f. Verifikasi              : Pembuktian kebenaran agama oleh suatu hasil penelitian20

E.     Penutup
Dari tiga kalasifikasi ilmu pengetahuan tersebut, satu dengan yang lainnya tidak bias terpisahkan. Dengan kata lain ilmu alam tidak bisa terlepas dari ilmu social dan humaniora, humaniora tidak bisa terlepas dari ilmu social dan ilmu alam, begitu juga ilmu social tidak bisa terlepas dari ilmu alam dan humaniora. Ketiganya saling berkaitan. Walaupun tampak pemisahan atau pembagian pengetahuan, bukanlah berarti ilmu itu tidak terkait satu sama yang lainnya. Pemisahan itu terjadi, karena ilmu pengetahuan itu berkembang dalam proses yang cukup lama. Tetapi dalam perkembangannya lebih lanjut, tampak kecenderungan generalisasi dari beberapa cabang ilmu pengetahuan, sehingga beberapa cabang ilmu pengetahuan itu bertemu kembali, karena pada hakikatnya satu unit. Studi Islam, berkaitan dengan tiga macam klasifikasi ilmu tersebut dapat dikaji secara epistimologi, sebab Islam menempati posisi sentral kajian keilmuan. Dan ternyata dapat dikaji dari berbagai perspektif, baik sosiologis, antropologis dan histories fenome


DAFTAR PUSTAKA

Abu Hasan, An-Nadwi, Kehidupan Nabi Muhammad, terj Yunus Ali Muhdhar. Semarang: As-Syifa,1992.
Ansari Saifuddin Endang, Kuliah Al-Islam. (Jakarta: PT> Grafindo Persada, 1992)
Bouman. P.J,  Ilmu Masyarakat Umum, Pengantar sosiologi, terj. (Jakarta: PT. Pembangunan, 1961)
Gelles, Richad J. -Ann Levine, Sociology An Introdution. USA: University Of Rhode Island, 1995.
Hasan Basri Hasan Cik, TradisiBaru Penelitian Islam; Tinjauan antar disiplin ilmu, M. Deden Ridwan, ed, (Bandung, 2001)
Hasbullah Moeflieh, Gagasan dan Perbedaan; Islamisasi Ilmu Pengetahuan, ed. (Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2000)
Hatta Mohammad, Alam Pemikiran Yunani,(Jakarta: Tintamas, 1982)
Ismail R. Al-Faruqi, Islam and Cultur.Terj. (Bandung: Mizan, 1989)
Joseph, Schacht,   An Introduction To Islamic Law. Inggris: Oxford Press, 1971.
Jacob. T, Manusia, Ilmu, dan Teknologi. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988)
K. Steven, Sandersson,  Sosiologi Makro, terj. Hotman M. Siahaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1995.
Langgulung Hasan, Pendidikan Islam, Demokratisasidan masa depan bangsa, (makalah pertemuan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN se-Indonesia, Yogyakarta, 1994)
Ma’arif Syafi’i. A, ISLAM, Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Cet., I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
Mudzhar Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cet., VI (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
National Commission For UNESCO, Islam and Arab Contribution To The European Renaisance (Egypt: 1977). Edisi Indonesia, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan,Cet., I (Bandung: Pustaka, 1986)
Polak Maijor, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991.
Rahman Afzalur,Quranic Science. Edisi Indonesia, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan,  (Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet., II 1992)
Soerjono, Soekanto,  Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Sumatmadja Nursid, Pengantar Studi Sosial, Cet., IV (Bandung: Penerbit Alumni, 1986)
Syariati Ali, Marxism and Other Western Fallacies, Terj. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983)
Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Sosiologi.Medan: Kurnia, 1999.



[1] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.  IV,  2004), h. 12
[2]  National Commission For UNESCO, Islam and Arab Contribution To The European Renaisance (Egypt: 1977). Edisi Indonesia, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan,Cet., I (Bandung: Pustaka, 1986), h. 165
[3]  Mohammad Hatta, Alam Pemikiran Yunani  (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 5
[4] Afzalur Rahman,Quranic Science. Edisi Indonesia, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan,Cet., II. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), h. 71

[5] Endang Saifuddin Ansari, Kuliah Al-Islam. (Jakarta: PT> Grafindo Persada, 1992), h. 13
[6] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, h. 13
[7] Ismail R. Al-Faruqi, Islam and Cultur.Terj. (Bandung: Mizan, 1989), h. 48-49

[8] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet., 34 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.12
[9] Nursid Sumaatmadja, Pengantar Studi Sosial, Cet., IV (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), h. 22      
                [10] P.J. Bouman, Ilmu Masyarakat Umum, Pengantar sosiologi, terj. (Jakarta: PT. Pembangunan, 1961),    h.13

11 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,, h. 13
12 A. Syafi’i Ma’arif, ISLAM, Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Cet., I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 45
13 T. Jacob, Manusia, Ilmu, dan Teknologi. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988), h. 68

14 Ali Syariati, Marxism and Other Western Fallacies, Terj. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 32
15 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam, Demokratisasidan masa depan bangsa, (makalah pertemuan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN se-Indonesia, Yogyakarta, 1994) 
16 sebuah karya monumental dalam kajian sejarah dengan menggunakan pendekatan sosiologis adalah karya Ira.M.Lapidus, A History Of Islamic Society (Cambridge University Press, New York, 1993), dalam beliau ini kita akan mendapatkan data-data yang mengagumkan
17 Abul Hasan An-Nadwi menjelaskan fakta ini dengan baik dengan menggunakan pendekatan sosial-hsitoris, Kehidupan Nabi Muhammad, terj Yunus Ali Muhdhar (Semarang: As-Syifa,1992) h. 608

18 kajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan historis dengan baik dilakukan oleh Marshall Hodgson dalam sub-bab kajiannya The Shar’i Vision dalam  The Venture Of Islam, jil. I. (Chicago: Chichago University Press,  1974), h. 174, juga oleh Joseph.Schacht dalam, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971), h. 15-dst.
19 Cik Hasan Basri, TradisiBaru Penelitian Islam; Tinjauan antar disiplin ilmu, M. Deden Ridwan, ed, (Bandung, 2001), h. 53
20 Lihat buku gagasan dan perbedaan; Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Moeflieh Hasbullah ed. (Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2000), h. 269