Minggu, 29 Mei 2011

Studi Filsafat Islam

 

A. Pendahuluan
Kelahiran filsafat di Yunani pada abad 6-4 SM telah membawa angin peradaban yang sangat berbeda di Eropa. Perobahannya sangatlah  radikal, dari peradaban mitologis ke peradaban rasional. Dan filsafat inipun telah menerpa dunia Islam pada abad ke-2 setelah Rasulullah wafat. Pemikiran-pemikiran dalam filsafat Islam lebih luas dari sekedar  terbatas pada aliran-aliran Aristotelesme Arab saja, tetapi pemikiran filsafat Islam telah muncul dan dikenal dalam aliran-aliran teologi sebelum orang-orang paripatetik dikenal dan menjadi tokoh.

B.     Pengertian dan Istilah-istilah Kunci.
Kata-kata filsafat diucapkan “falsafah” dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa
Yunani, Philosopia yang berarti “cinta kepada pengetahuan”, yang terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut Philosophos atau Failasuf dalam ucapan Arabnya. Selanjutnya kata filsafat yangbanyak dipakai dalam bahasa Indonesia, menurut Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa barat philosophy. Disini dipertanyakan tentang apakah fil diambil dari bahasa Barat dan safah dari kata Arab, sehingga gabungan antara keduanya dan menimbulkan  kata filsafat?
     
C.    Perkembangan Kajian Filsafat Dalam Islam
Filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang banyak dibicaraakan oleh orang
orang Arab adalah filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok ke Islaman.
            Hakikat Filsafat Islam ialah akal dan al Qur’an. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa akal dan al Qur’an. Akal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al Qur’an juga menjadi cirri ke Islamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al Qur’an dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al Qur’an tidak membatasi akal bekerja, akal tetap bekerja sebagai otonomi penuh. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya.

D.  Pro dan Kontra Terhadap Kajian Filsafat dalam Islam (al Ghazali dan Ibnu Rusyd)
Al Ghazali menolak kompetensi “filosofik” untuk memahami kebenaran metafisis.
Bagian yang signifikan dari pengetahuan tentang hal-hal seperti kenabian dan psikologis spiritual baginya hanyalah kebenaran pinjaman yang diambil dari nabi dan orang suci.  Al-Ghazali berusaha membuktikan keterbatasan metode “folosofik”. Dia berpendapat bahwa ilmu-ilmu metafisis para filosof tercemari oleh kesesatan-kesesatan dan ketidak-konsistenan. Kekeliruan dan ketidak-konsistenan ini, kata al Ghazali memperlihatkan kemustahilan mencapai keyakinan akan kebenaran-kebenaran metafisis melalui “filosofik”.
            Tiga pikiran filsafat  metafisika yang menurut al Ghazali sangat bertentangan dengan Islam, dan karena itu para filosof harus dinyatakan sebagai orang ateis, ialah :
1.      Qadimnya alam.
2.      Ilmu Tuhan tentang hal-hal kecil.
3.      Kebangkitan jasmani.
Ibnu Rusyd menanggapi kritikan al Ghazali dalam buku Tahafut al Falasifah telah
menyerang  para filosof. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan menundukkan masalah tersebut pada proporsinya. Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut at Tahafut. Buku itu mengisyaratkan bahwa al Ghazali lah yang sebenarnya kacau dalam berfikirnya.


           
           























Selasa, 24 Mei 2011

AKHLAK, ETIKA, MORAL (Tinjauan Definitive dan Karakteristik Dalam Ajaran Islam)

Pendahuluan
Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.[1]
  1. Pembahasan
Dalam berbagai literature tentang ilmu akhlak islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagia, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah (perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Hukum-hukum akhlak ialah hokum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.[2]
a. Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[3]
b. Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
c. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
d. Karakteristik dalam ajaran Islam
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
  1. Penutup
Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Daftar Pustaka
Achmad, Mudlor. Tt. Etika dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.
Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. Lentera. Jakarta.
Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa. Bandung.
Halim, Ridwan. 1987. Hukum Adat dalam Tanya Jawab. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Ilyas, Yunahar. 1999. Kuliah Akhlak. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. Yogyakarta.
Kusumamihardja, Supan dkk. 1978. Studia Islamica. Pt Giri Mukti Pasaka. Jakarta.
Masyhur, Kahar. 1986. Meninjau berbagai Ajaran; Budipekerti/Etika dengan Ajaran Islam. Kalam Mulia. Jakarta.
Mustofa, Ahmad. 1999. Ilmu Budaya Dasar. CV Pustaka Setia. Bandung.
Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Rifa'i, Mohammad. 1987. 300 Hadits Bekal Dakwah dan Pembina Pribadi Muslim. Wicaksana. Semarang.
Salam, Zarkasji Abdul. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh. Lembaga Studi Filsafat Islam. Yogyakarta.

Senin, 23 Mei 2011

CULTIVATION THEORY ( TEORI PENYUBURAN ) Oleh : Abdul Yajib

                                                         Pendahuluan
            Cultivation theory atau teori kultivasi yang dikenal juga dengan teori penyuburan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner  dengan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di Universitas Pannsylvania pada tahun 1969 dalam sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut merupakan tulisan dalam buku berthema Mass Media and Violence yang disunting  D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds). Pada awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak” [1]  Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri  menunjukkan suatu proses kumulatif dimana televisi menamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya. Teori kultivasi dalam bentuknya yang paling mendasar, percaya bahwa televisi bertanggung jawab dalam membentuk, atau mendoktrin konsepsi pemirsanya mengenai realitas sosial yang ada disekelilingnya. Pengaruh-pengaruh dari televisi yang berlangsung secara simultan, terus-menerus, secara tersamar telah membentuk persepsi individu/audiens dalam memahami realitas sosial. Lebih jauh lagi hal tersebut akan mempengaruhi budaya kita secara keseluruhan.
Selain itu munculnya Teori kultivasi disebabkan karena terjadinya perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual. Menurut Signorielli dan Morgan,  analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki [2]:
a) proses institusional dalam produksi isi media,
b) image (kesan) isi media, dan
c) hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Dan Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengiktannya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
1.    Asumsi/ Esensi Teori Kultivasi
Hipotesis umum dari analisis teori kultivasi adalah orang yang lebih lama ‘hidup’ dalam dunia televisi (heavy viewer) akan cenderung melihat dunia nyata seperti gambaran, nilai-nilai, potret, dan ideologi yang muncul pada layar televisi. (J. Bryant and D. Zillman (Eds), 2002). Hipotesis ini menjelaskan bahwa realitas sama dengan yang ada di televisi.
Dalam riset proyek indikator budaya (cultural indicator research project) terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya. 1), televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi tidak menuntut membaca huruf seperti pada media surat kabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara. 2). Media televisi menjadi the central cultural arm masyarakat Amerika, karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi.  3). Persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara dan cerita (drama). 4). Fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan) sehingga pemahaman akan televisi bisa menjadi sebuah pandangan ritual/berbagi pengalaman daripada hanya sebagai medium transmisi. 5). Observasi, pengukuran, dan kontribusi televisi kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan. Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak Anda dengan televisi, Anda belajar tentang dunia, orang- orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.
Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada empat tahap proses:
1.    Message system analysis yang menganalisis isi program televisi.
2. Formulation of question about viewers’ sosial realities yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3. Survey the audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari media, dan.
4. Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi.



Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis:
1. Analisis isi (content analysis), yang mengidentifikasikan atau menentukan tema-tema utama yang disajikan oleh televisi.
2. Analisis khalayak (audience research), yang mencoba melihat pengaruh tema-tema tersebut pada penonton.

            Langkah utama untuk menguji teori kultivasi dalam studi awal adalah menentukan kandung isi televisi melalui analisis isi. Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan (weekend). Di antara berbagai teori dampak media jangka panjang, cultivation analysis merupakan teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya. Teori kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya. Berdasarkan banyaknnya waktu yang dihabiskan untuk menonton, maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua kategori yakni light viewer (penonton ringan dalam arti menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat), menonton rata-rata 4 jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu (Infante, et.al, 2003).

Asumsi dasar teori ini adalah:
1.  Televisi merupakan media yang unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
a. Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
b. Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
c.  Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2.  Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat). Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world) ketimbang kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.
3. Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka. Asumsi ini menyatakan, kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas. Karena itu mereka mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena keterpakuan pada satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi yang mereka miliki menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya kelompk light viewers memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka. Menurut teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori ini dengan The Hypodermic Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda Setting Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbabagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual. Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.
4. Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat. Asumsi keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Karena alasan ini kemudian mereka menganggap bahwa apapun yang muncul di televisi sebagai gambaran kehidupan sebenarnya, gambaran kehidupan yang disepakati secara konsensual masyarakat. Dalam konteks ini berarti, bila penonton melihat orang sumpah pocong di televisi, atau melihat adegan ciuman di antara dua orang yang masih pacaran dalam sebuah sinetron maka penonton tersebut menganggap hal itu sesuatu hal yang lumrah saja yang menganggap kehidupan nyata di lingkungannya.
5. Televisi membentuk mainstreaming dan resonance.  Asumsi kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk mainstreaming dan resonace. Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
6. Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi.   Asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990 setelah menyaksikan perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung keyakinan bahwa teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, malahan pada kanyataannya akan meneguhkan dan memperkuat. Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari analisis isi pesan televisi Amerika secara sistematis. Analisis itu dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isu ini memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum wanita dan minoritas rasial (Mc Quail, 1987: 254). Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama (Ardianto dkk, 2004: 65).

2.    Konsep Teori Kultivasi
            Televisi mempunyai kemampuan untuk menggambarkan apa yang terjadi, apa yang penting dalam berbagai kejadian, dan menjelaskan hubungan-hubungan serta makna yang ada di antara kejadian-kejadian itu. Dengan cara itu, televisi -begitu pula media massa lainnya- membentuk lingkungan simbolis. Televisi berfungsi menanamkan ideologi. Usaha untuk menganalisa akibat-akibat penanaman ideologi oleh televisi inilah yang disebut dengan cultivation analysis. Misalnya, diduga bahwa makin sering seseorang menonton televisi, makin mirip persepsinya tentang realitas sosial dengan apa yang disajikan dalam televisi.
Gerbner mengemukakan konsep mainstreaming dan resonance. Mainstreaming artinya mengikuti arus. Mainstreaming dimaksudkan sebagai kesamaan di antara penonton berat (heavy viewers) pada berbagai kelompok demografis, dan perbedaan dari kesamaan itu pada penonton ringan (light viewers). Bila televisi sering kali menyajikan adegan kekerasan, maka penonton berat akan melihat dunia ini dipenuhi kekerasan. Sementara itu, penonton ringan akan melihat dunia tidak sesuram seperti yang dipersepsikan penonton berat.
            Bila yang disajikan televisi itu ternyata juga cocok dengan apa yang disaksikan pemirsanya di lingkungannya, daya penanaman ideologi dari televisi ini makin kuat. Ini disebut Gerbner sebagai resonance. Penonton televisi yang tinggal di daerah yang penuh kejahatan akan makin yakin bahwa dunia yang disajikan televisi adalah dunia yang sebenarnya. Pembahasan mengenai mainstreaming dan resonance akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan teori kultivasi.
            Menurut teori kultivasi, media, khususnya televisi, merupakan sarana utama kita untuk belajar tentang masyarakat dan kultur kita. Melalui kontak kita dengan televisi (dan media lain), kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaanya.

3.    Aplikasi Teori.
Teori kultivasi sering digunakan untuk menganalisis berbagai bentuk praktik komunikasi, terutama komunikasi massa khususnya televisi apa yang kita kenal cultivation analysis. Para penonton berat akan cenderung melihat dunia nyata seperti apa yang digambarkan di televisi. Semakin sering kita menonton suatu program televisi, kita akan semakin terpengaruh oleh program itu. Jika kita menonton acara seperti Buser, Patroli atau Sergap di televisi swasta Indonesia akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam acara itu diketengahkan tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap. Dalam pandangan kultivasi dikatakan bahwa adegan yang tersaji dalam setiap acara menggambarkan dunia kita sebenarnya. Bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat. Acara itu seolah menggambarkan dunia kejahatan seperti itulah yang sebenarnya ada di Indonesia. Contoh lain, semakin sering kita menonton suatu sinetron, kita akan semakin beranggapan bahwa sinetron itu adalah suatu realitas. Jika kita sering melihat tokoh ibu tiri yang kejam di sinetron, maka di dunia nyata kita akan beranggapan bahwa ibu tiri itu kejam dan kita akan benci jika ayah kita menikah lagi. Hawkins dan Pingree menemukan model proses kultivasi, yaitu bahwa proses kultivasi dalam pikiran kita terbagi dua, yaitu learning dan constructing. Apa yang dilihat oleh audiens kemudian akan melalui tahap belajar dan diikuti tahap mengkonstruksi dalam pikiran audiens tersebut.

Penutup
            Demikian sekilas beberapa contoh aplikasi teori kultivasi. Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan Televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya. Sehingga walau banyak kritik terhadap teori ini, namun demikian dalam kenyataannya teori ini memang dapat kita lihat pada masyarakat, terutama pada anak-anak. Anak sebagai penonton, masih mudah dipangaruhi oleh pesan-pesan yang disajikan televisi.
            Dan menurut syukur kholil teori cultivation theory / teori penyuburan bahwa dalam perspektif teori penyuburan, nilai- nilai Islam dapat diyakini dan diamalkan oleh umat manusia apabila penyampaianya dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan berbagai jenis media massa cetak dan elektronik.[3] Teori penyuburan / kultivasi ini dapat berlaku sepanjang masa baik dari masa yang lalu, sekarang dan yang akan datang, sehingga berdasarkan pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa cultivation theory (teori penyuburan) ini merupakan salah satu teori dalam ilmu komunikasi sebab teori ini telah memenuhi standar fungsi sebagai teori menjelaskan, meramalkan, mempunyai pandangan dan strategi ataupun langkah- langkah yang harus dilakukan seseorang dalam komunikasi.




DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala E.. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2004

Devito, Joseph A. Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books. 1997

Dominick, Joseph R. The Dynamick of Mass Communication. New York: Random House. 1990.

Griffin, Emory A.. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill, 2004

Infante, Dominic A, Andrew S. Rancer & Deanna F. Womack.. Building Communication Theory. Long Grove: Waveland Press. 2003

Kholil Syukur, Dr. H. Komunikasi Islam. Bandung: Cita Pustaka, 2007

Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 1987.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur. Wood, JT. Communication Theories in Action. Calofornia: Belmont. 2000.
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
.
www.aber.uk/media/documents/short/cultiv.html, Cultivation Theory Week Eleven Lecture 24, cultivation theory by George Gerbner.

www.asudayton/edu/com/faculty/kenny/cultivation.html, George Gerbner Cultivation Theory.
Diposkan oleh Robeet Thadi, S.Sos., M.Si di 10:34






[1] Nurudin.. Komunikasi Massa. (Malang: Cespur. Wood, JT 2000. 2004). h. 157
[2] Griffin, Emory A.  A First Look At Communication Theory. (New York: McGraw Hill, 2004.) h. 190

[3] Syukur Kholil, Komunikasi Islam ( Bandung: Cita Pustaka, 2007), h.40