Senin, 23 Mei 2011

CULTIVATION THEORY ( TEORI PENYUBURAN ) Oleh : Abdul Yajib

                                                         Pendahuluan
            Cultivation theory atau teori kultivasi yang dikenal juga dengan teori penyuburan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner  dengan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di Universitas Pannsylvania pada tahun 1969 dalam sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut merupakan tulisan dalam buku berthema Mass Media and Violence yang disunting  D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds). Pada awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak” [1]  Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri  menunjukkan suatu proses kumulatif dimana televisi menamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya. Teori kultivasi dalam bentuknya yang paling mendasar, percaya bahwa televisi bertanggung jawab dalam membentuk, atau mendoktrin konsepsi pemirsanya mengenai realitas sosial yang ada disekelilingnya. Pengaruh-pengaruh dari televisi yang berlangsung secara simultan, terus-menerus, secara tersamar telah membentuk persepsi individu/audiens dalam memahami realitas sosial. Lebih jauh lagi hal tersebut akan mempengaruhi budaya kita secara keseluruhan.
Selain itu munculnya Teori kultivasi disebabkan karena terjadinya perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual. Menurut Signorielli dan Morgan,  analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki [2]:
a) proses institusional dalam produksi isi media,
b) image (kesan) isi media, dan
c) hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Dan Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengiktannya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
1.    Asumsi/ Esensi Teori Kultivasi
Hipotesis umum dari analisis teori kultivasi adalah orang yang lebih lama ‘hidup’ dalam dunia televisi (heavy viewer) akan cenderung melihat dunia nyata seperti gambaran, nilai-nilai, potret, dan ideologi yang muncul pada layar televisi. (J. Bryant and D. Zillman (Eds), 2002). Hipotesis ini menjelaskan bahwa realitas sama dengan yang ada di televisi.
Dalam riset proyek indikator budaya (cultural indicator research project) terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya. 1), televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi tidak menuntut membaca huruf seperti pada media surat kabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara. 2). Media televisi menjadi the central cultural arm masyarakat Amerika, karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi.  3). Persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara dan cerita (drama). 4). Fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan) sehingga pemahaman akan televisi bisa menjadi sebuah pandangan ritual/berbagi pengalaman daripada hanya sebagai medium transmisi. 5). Observasi, pengukuran, dan kontribusi televisi kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan. Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak Anda dengan televisi, Anda belajar tentang dunia, orang- orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.
Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada empat tahap proses:
1.    Message system analysis yang menganalisis isi program televisi.
2. Formulation of question about viewers’ sosial realities yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3. Survey the audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari media, dan.
4. Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi.



Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis:
1. Analisis isi (content analysis), yang mengidentifikasikan atau menentukan tema-tema utama yang disajikan oleh televisi.
2. Analisis khalayak (audience research), yang mencoba melihat pengaruh tema-tema tersebut pada penonton.

            Langkah utama untuk menguji teori kultivasi dalam studi awal adalah menentukan kandung isi televisi melalui analisis isi. Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan (weekend). Di antara berbagai teori dampak media jangka panjang, cultivation analysis merupakan teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya. Teori kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya. Berdasarkan banyaknnya waktu yang dihabiskan untuk menonton, maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua kategori yakni light viewer (penonton ringan dalam arti menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat), menonton rata-rata 4 jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu (Infante, et.al, 2003).

Asumsi dasar teori ini adalah:
1.  Televisi merupakan media yang unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
a. Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
b. Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
c.  Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2.  Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat). Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world) ketimbang kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.
3. Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka. Asumsi ini menyatakan, kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas. Karena itu mereka mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena keterpakuan pada satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi yang mereka miliki menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya kelompk light viewers memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka. Menurut teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori ini dengan The Hypodermic Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda Setting Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbabagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual. Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.
4. Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat. Asumsi keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Karena alasan ini kemudian mereka menganggap bahwa apapun yang muncul di televisi sebagai gambaran kehidupan sebenarnya, gambaran kehidupan yang disepakati secara konsensual masyarakat. Dalam konteks ini berarti, bila penonton melihat orang sumpah pocong di televisi, atau melihat adegan ciuman di antara dua orang yang masih pacaran dalam sebuah sinetron maka penonton tersebut menganggap hal itu sesuatu hal yang lumrah saja yang menganggap kehidupan nyata di lingkungannya.
5. Televisi membentuk mainstreaming dan resonance.  Asumsi kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk mainstreaming dan resonace. Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
6. Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi.   Asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990 setelah menyaksikan perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung keyakinan bahwa teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, malahan pada kanyataannya akan meneguhkan dan memperkuat. Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari analisis isi pesan televisi Amerika secara sistematis. Analisis itu dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isu ini memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum wanita dan minoritas rasial (Mc Quail, 1987: 254). Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama (Ardianto dkk, 2004: 65).

2.    Konsep Teori Kultivasi
            Televisi mempunyai kemampuan untuk menggambarkan apa yang terjadi, apa yang penting dalam berbagai kejadian, dan menjelaskan hubungan-hubungan serta makna yang ada di antara kejadian-kejadian itu. Dengan cara itu, televisi -begitu pula media massa lainnya- membentuk lingkungan simbolis. Televisi berfungsi menanamkan ideologi. Usaha untuk menganalisa akibat-akibat penanaman ideologi oleh televisi inilah yang disebut dengan cultivation analysis. Misalnya, diduga bahwa makin sering seseorang menonton televisi, makin mirip persepsinya tentang realitas sosial dengan apa yang disajikan dalam televisi.
Gerbner mengemukakan konsep mainstreaming dan resonance. Mainstreaming artinya mengikuti arus. Mainstreaming dimaksudkan sebagai kesamaan di antara penonton berat (heavy viewers) pada berbagai kelompok demografis, dan perbedaan dari kesamaan itu pada penonton ringan (light viewers). Bila televisi sering kali menyajikan adegan kekerasan, maka penonton berat akan melihat dunia ini dipenuhi kekerasan. Sementara itu, penonton ringan akan melihat dunia tidak sesuram seperti yang dipersepsikan penonton berat.
            Bila yang disajikan televisi itu ternyata juga cocok dengan apa yang disaksikan pemirsanya di lingkungannya, daya penanaman ideologi dari televisi ini makin kuat. Ini disebut Gerbner sebagai resonance. Penonton televisi yang tinggal di daerah yang penuh kejahatan akan makin yakin bahwa dunia yang disajikan televisi adalah dunia yang sebenarnya. Pembahasan mengenai mainstreaming dan resonance akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan teori kultivasi.
            Menurut teori kultivasi, media, khususnya televisi, merupakan sarana utama kita untuk belajar tentang masyarakat dan kultur kita. Melalui kontak kita dengan televisi (dan media lain), kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaanya.

3.    Aplikasi Teori.
Teori kultivasi sering digunakan untuk menganalisis berbagai bentuk praktik komunikasi, terutama komunikasi massa khususnya televisi apa yang kita kenal cultivation analysis. Para penonton berat akan cenderung melihat dunia nyata seperti apa yang digambarkan di televisi. Semakin sering kita menonton suatu program televisi, kita akan semakin terpengaruh oleh program itu. Jika kita menonton acara seperti Buser, Patroli atau Sergap di televisi swasta Indonesia akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam acara itu diketengahkan tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap. Dalam pandangan kultivasi dikatakan bahwa adegan yang tersaji dalam setiap acara menggambarkan dunia kita sebenarnya. Bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat. Acara itu seolah menggambarkan dunia kejahatan seperti itulah yang sebenarnya ada di Indonesia. Contoh lain, semakin sering kita menonton suatu sinetron, kita akan semakin beranggapan bahwa sinetron itu adalah suatu realitas. Jika kita sering melihat tokoh ibu tiri yang kejam di sinetron, maka di dunia nyata kita akan beranggapan bahwa ibu tiri itu kejam dan kita akan benci jika ayah kita menikah lagi. Hawkins dan Pingree menemukan model proses kultivasi, yaitu bahwa proses kultivasi dalam pikiran kita terbagi dua, yaitu learning dan constructing. Apa yang dilihat oleh audiens kemudian akan melalui tahap belajar dan diikuti tahap mengkonstruksi dalam pikiran audiens tersebut.

Penutup
            Demikian sekilas beberapa contoh aplikasi teori kultivasi. Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan Televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya. Sehingga walau banyak kritik terhadap teori ini, namun demikian dalam kenyataannya teori ini memang dapat kita lihat pada masyarakat, terutama pada anak-anak. Anak sebagai penonton, masih mudah dipangaruhi oleh pesan-pesan yang disajikan televisi.
            Dan menurut syukur kholil teori cultivation theory / teori penyuburan bahwa dalam perspektif teori penyuburan, nilai- nilai Islam dapat diyakini dan diamalkan oleh umat manusia apabila penyampaianya dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan berbagai jenis media massa cetak dan elektronik.[3] Teori penyuburan / kultivasi ini dapat berlaku sepanjang masa baik dari masa yang lalu, sekarang dan yang akan datang, sehingga berdasarkan pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa cultivation theory (teori penyuburan) ini merupakan salah satu teori dalam ilmu komunikasi sebab teori ini telah memenuhi standar fungsi sebagai teori menjelaskan, meramalkan, mempunyai pandangan dan strategi ataupun langkah- langkah yang harus dilakukan seseorang dalam komunikasi.




DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala E.. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2004

Devito, Joseph A. Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books. 1997

Dominick, Joseph R. The Dynamick of Mass Communication. New York: Random House. 1990.

Griffin, Emory A.. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill, 2004

Infante, Dominic A, Andrew S. Rancer & Deanna F. Womack.. Building Communication Theory. Long Grove: Waveland Press. 2003

Kholil Syukur, Dr. H. Komunikasi Islam. Bandung: Cita Pustaka, 2007

Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 1987.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur. Wood, JT. Communication Theories in Action. Calofornia: Belmont. 2000.
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
.
www.aber.uk/media/documents/short/cultiv.html, Cultivation Theory Week Eleven Lecture 24, cultivation theory by George Gerbner.

www.asudayton/edu/com/faculty/kenny/cultivation.html, George Gerbner Cultivation Theory.
Diposkan oleh Robeet Thadi, S.Sos., M.Si di 10:34






[1] Nurudin.. Komunikasi Massa. (Malang: Cespur. Wood, JT 2000. 2004). h. 157
[2] Griffin, Emory A.  A First Look At Communication Theory. (New York: McGraw Hill, 2004.) h. 190

[3] Syukur Kholil, Komunikasi Islam ( Bandung: Cita Pustaka, 2007), h.40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar