Rabu, 08 Juni 2011

FENOMENA BERBUSANA SEXSI Oleh : Abdul Yajib

A.      Pendahuluan

Busana dalam konteks sosial budaya merupakan objek studi yang menarik untuk diperbincangkan, tidak hanya oleh dunia perguruan tinggi tetapi juga oleh lembaga lain yang menaruh perhatian terhadap dinamika sosial budaya suatu masyarakat. Isu busana sexsi dan busana budaya ketimuran serta busana islami yang mencuat akhir-akhir ini di dimasyarakat, patut mendapatkan perhatian dari banyak pihak, sebagai suatu realitas sosial yang terus berkembang. Realitas sosial ini akan terus bergulir dan tidak mungkin dibendung, mengingat isu busana sebagai realitas (social reality) akan terus menerus melaju hingga memenukan titik nadir. Dalam studi sosiologi titik nadir ini dikenal dengan “kesempurnaan realitas sosial”. Diskursus busana sebagai isu sosial dalam konteks kita Indonesia khususnya Sumatera Utara hari ini, memiliki latar belakang yang patut diselami dan diketahui secara seksama oleh pemerhati sosial budaya. Paling tidak terdapat empat simpul yang dapat dinyatakan sebagai background yang mencuatkan isu busana sebagai isu hangat yang memerlukan jawaban berbagai pihak. Jawaban tersebut bisa saja diungkap dalam kerangka ilmu fiqh, ilmu hukum, ilmu sosial-budaya dan berbagai dimensi ilmu lainnya. Isu busana yang sedang menjalani proses pencarian kesempurnaan realitas sosial, diharapkan benar-benar mampu menciptakan situasi sosial yang seimbang (social equilibrium).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang dikenal kental dengan sopan santun dalam  berbusana dan ramah tamah dalam pergaulanya serta nilai – nilai agama yang melekat dengan syari’at Islam.  Karena Islam sebagai ajaran yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, sudah dijadikan pedoman hidup yang mengikat seluruh prilaku sebagian besar masyarakat Indonesia. Nilai dan norma yang berasal dari ajaran syari’at Islam menjelma sebagai nilai positif yang dipatuhi dan diikuti ,yang pada akhirnya melahirkan sejumlah interaksi sosial.

B.  Busana Dalam Seting Lintas Budaya
Studi busana dalam seting lintas budaya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai (values) yang dianut oleh suatu masyarakat.  Nilai tersebut dapat saja bersumber dari ajaran agama atau nilai budaya yang dibentuk secara turun temurun oleh para leluhur sebagai warisan yang dipegang dan dianut oleh suatu komunitas. Nilai yang berasal dari leluhur merupakan kreasi orang-orang terdahulu sebagai bentuk warisan mulia yang harus dipertahankan oleh generasi selanjutnya. Nilai ini patut dipertahankan karena dapat menjaga eksistensi nilai kemanusiaan dari setiap anggota masyarakat.
Kepatuhan anggota masyarakat untuk menjaga dan mengamalkan seperangkat nilai (values), bukan semata-mata karena dorongan untuk memperkuat komunitas atau menjaga jati diri dan karakteristik komunitas, tetapi lebih dari itu adalah untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri manusia sebagai makhluk mulia dan bermartabat. Nilai yang diacu masyarakat baik yang berasal dari ajaran agama maupun nilai budaya, akan menempatkan individu dalam komunitas sebagai makhluk berbudaya. Oleh karenanya, esensi budaya tertumpu pada seperangkat nilai yang dipersepsikan oleh seluruh anggota masyarakat, yang mana nilai tersebut dimaknai secara kongkrit dalam setiap prilaku anggota masyarakat. Nilai dimaksud dapat saja berupa nilai moral, nilai kepatutan, nilai etika dan bahkan nilai estetika.
Dalam masyarakat pembentukan nilai yang menjadi acuan setiap prilaku adalah norma (norm) yang berasal dari budaya setempat. Terkadang budaya memang merupakan sumber nilai moral, norma kepatutan, norma etika dan norma estetika. Nilai dasar ini berkembang secara terus menerus dalam konstruksi budaya masyarakat kita. Nilai yang lahir dari perkembangan interaksi sosial budaya masyarakat tidak akan dikonsepsikan sebagai nilai sosial atau budaya setempat aja. Nilai moral, nilai kepatutan prilaku, nilai etika dan estetika masyarakat Indonesia  adalah bersumber dari ajaran agama yang ada di Negara kita.
Busana dalam seting sosial budaya masyarakat Indoneis cenderung dipahami dalam dua perspektif. Pertama, busana atau pakaian merupakan hasil kreasi manusia dalam rangka memaknai ajaran Tuhan yang menghendaki tubuh manusia ditempatkan pada posisi yang mulia dan terhormat. Tubuh manusia sebagai anugerah dan ciptaan Allah memiliki kemuliaan, kesempurnaan dan keindahan, sehingga mengharuskan pemilik tubuh melakukan penjagaan dan perlindungan. Pada sisi lain, tubuh manusia sangat berpotensi dan rawan terhadap segala tindakan yang dapat menjerumuskan dan membawa manusia pada prilaku yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan nilai kemanusiaan. Bahkan derajat dan martabat manusia bisa hancur dan berada pada lembah kehinaan, jika manusia memperlakukan tubuhnya tidak berdasarkan ketentuan budaya ketimuran kita dan syari’at Islam. Kedua, busana sebagai hasil kreasi budaya dalam masyarakat  cenderung mengikuti pola yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat atau trend. Busana masyarakat  yang berakar dari budaya  lokal maupun ajaran Islam dalam lintasan sejarah tidak kaku, akan tetapi dinamis, kreatif dan luwes, sehingga memudahkan masyarakat dalam menjalankan sejumlah interaksi sosialnya.
Busana bukanlah penghambat dari sejumlah aktivitas masyarakat, tetapi busana menjadi pelindung masyarakat. Busana adalah gambaran ciri dan identitas masyarakat, serta lambang kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Desain busana dalam kerangka budaya masyarakat, tetap merujuk pada nilai agama dan nilai moral.  Busana dalam masyarakat  didesaian sesuai dengan karakter masyarakat Aceh, dan diukur dengan nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai tersebut berasal dari ketentuan syari’at Islam baik berupa nilai agama, nilai moral, nilai kepatutan, nilai etika dan nilai estetika. Nilai-nilai tersebut dikonsepsikan oleh masyarakat dan dijadikan standar dalam menilai busana yang digunakan seseorang di dalam berbagai interaksi sosialnya, baik pada masa lalu maupun masa sekarang.

C.  Busana Dalam Konteks Kekinian
Secara alamiah, kehidupan manusia akan terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan kehidupan manusia bisa saja terjadi secara berurut, teratur dan gradual, tetapi dalam realitasnya perubahan dapat juga terjadi secara tidak teratur bahkan cenderung revolusioner. Manusia sebagai makhluk dinamis memiliki sejumlah perangkat dan potensi diri sebagai anugerah Tuhan guna melalukan perubahan dalam kehidupannya. Pendidikan adalah upaya yang ditempuh manusia dalam rangka melakukan perubahan kehidupan, sehingga perubahan itu menempatkan diri manusia sebagai makhluk mulia, bermartabat dan bermoral. Perubahan kehidupan manusia melalui pendidikan ditujukan untuk membangun intelektual, emosional dan spiritual. Perubahan-perubahan ini akan menghasilkan kepribadian dan nilai yang disepakati manusia, sehingga dijadikan rujukan dalam setiap prilaku. Konsepsi dan nilai yang dipegang dan dianut oleh manusia, kadangkala dapat bertahan dalam waktu lama, karena nilai tersebut bersifat abadi, akan tetapi adakala nilai dan konsepsi tersebut menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia yang senantiasai berubah dari waktu ke waktu.
Dan manakala kita lihat dan amati fenomena yang berkembang di tengah- tengah masyarakat masih banyak dijumpai orang- orang berbusana tidak sesuai dengan budaya yang melekat pada tempat ia tinggal. Hal ini tampak dengan jelas terjadi suatu pergeseran nilai budaya, dari budaya ketimuran bergeser menjadi budaya luar khususnya budaya barat atau sebahagian hanya mengikuti suatu trend berbusana yang berkembang tanpa diikuti suatu pengetahuan yang cukup, mereka hanya mengimitasi budaya luar tersebut karena dilihatnya orang tersebut pantas dan indah memakainya dan ia pun mencoba memakainya tanpa memikirkan dampaknya dan menilainya pantas atau tidak pantas untuk dirinya jika ia mengenakan busana tersebut bahkan ada sebahagian yang berpikir jika telah mengikuti trend yang berkembang ataupun berbusana sexsi yang merupakan busana  sebahagian budaya barat maka ia tidak menjadi orang ketinggalan zaman dan bahkan ada yang beranggapan bahwa ia orang yang modern.
Tetapi setelah ia kenakan busana tersebut dan kemudian berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya baru ia berpikir bahwa ia tidaklah pantas mengenakanya kemudian ia tidak mengenakan lagi busana yang sexsi tersebut, tetapi sebahagian lagi ada yang tidak menyadarinya bahwa ia tidak pantas dan sebenarnya tidak siap mengenakan busana tersebut tetapi ia paksakan karena ia melihat orang lain bagus mengenakanya dan ia hanya meniru tanpa berpikir dan ketika busana itu ia kenakan maka tanpak ia tampak sibuk bila sedang duduk dengan rok mininya maka ia ambil sapu tangan, terkadang tasnya atau benda apaun yang ada padanya untuk menutupi aurat belahan pahanya. Dan sebahagian lagi ia merasa gelisah jika pandangan orang tertuju padanya, ini menunjukan bahwa pada dasarnya ia belum siap mengikuti trend maupun budaya berbusana sexsi dalam kehidupanya. Mereka-mereka yang demikian hanyalah korban dari kemodrenan saja bukan orang yang modern.
Perlu untuk diketahui bahwa nilai yang permanen adalah nilai dasar yang bersifat tetap dan umumnya berasal dari budaya lokal dan ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran yang bersifat absolute. Sebaliknya, nilai yang berubah adalah nilai yang dibangun dari interpretasi manusia terhadap budaya dan  ajaran agama, dan nilai ini berhimpitan dengan kebutuhan manusia dalam nuansa kekinian. Dalam studi sosiologi, nilai dasar yang tidak berubah dikenal dengan nilai primer dan nilai turunannya yang dapat berubah, sehingga dapat disesuaikan dengan waktu, dikenal dengan nilai sekunder. Perubahan nilai sekunder di tengah kehidupan manusia dalam konteks kekinian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dunia global yang bercirikan teknologi, informasi dan penuh gerakan pemikiran yang berasal dari dunia luar. Era global yang sarat teknologi dan informasi, menempatkan paradigma manusia dalam kerangka kerja efektif, efisien, ekonomis dan profesional individual dalam malakukan interaksinya. Efektif, efisien, ekonomis dan professional merupakan tatanan baru yang disepakati manusia modern dalam menjalankan kegiatan dan profesinya sehari-hari. Profesi menghendaki adanya keluasan gerak individu dalam menjalankan dan mengembangkan profesionalitasnya. Busana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas manusia, tidak semestinya mengganggu atau menghambat manusia dalam menjalankan aktifitas atau profesinya sebagai makhluk sosial. Busana hendaknya mampu menjadikan diri manusia sebagai makhluk yang luwes, bermartabat dan memudahkan dirinya menjalankan profesinya sehari-hari. Busana janganlah menjadi penghambat aktivitas individu dalam menjalankan profesionalitas keseharian. Meskipun demikian, hubungan antara busana dan profesi manusia dalam kehidupan modern, bukanlah hubungan yang diametris, tetapi hubungan yang simetris. Manusia diberikan kebebasan oleh norma agama, norma, moral, etika dan kepatutan untuk melakukan sejumlah ativitas, namun tetap terjaga dibawah panduan nilai ayang dianut di patauhis serta dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai keadilan dan kebanearan. Oleh karena itu, standard an ukuran busana yang dikenakan setiap individu dalam lalulintas profesi kehidupan modern adalah norna, moral, dan nilai baik etika maupun estetika. Nilai dan norma tersebut dikonsepsikan secara bersama dan diactualisasikan secara bersama pula oleh individu ditengah-tengah masyarakat.

D.  Busana Dalam Persefektif Islam
            Busana dalam kacamata islam merupakan sessuatu pembahasan yang paling penting untuk dibahas dan syari’at islam sangat memperhatikan karena berkaitan dengan aurat. Islam menganjurkan kepada setiap pemeluknya untuk menutup auratnya baik laki- laki apalagi kaum perempuan/ wanita. Rasulullah berkomentar tentang busana wanita tersebut dengan sabdanya “ Wanita adalah aurat kecuali muka dan tepak tangan”. Hadits ini menunjukan bahwa seorang wanita itu harus berbususana yang sopan dengan menutup seluruh bahagian tubuhnya kecuali muka dan telapak tanganya.
            Dan Al- Qur’an memberikan aturan yang baku tentang berbusana dalam Islam sebagaimana firmanya : “Wahai Nabi ! Katakanlah pada istri- istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri- istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, “ yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu dan Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS;  Al- Ahzab : 59 )[1]
“ Katakanlah kepada laki- laki yang beriman, agar mereka menjaga pandanganya, dan memelihara kemaluanya ; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat “. (QS; An- Nur- 30)[2].
“ Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandanganya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasanya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakan perhiasanya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra- putra mereka, putra- putra suami mereka, atau saudara laki- laki mereka, atau putra- putra saudara laki- laki mereka, atau putra  saudara perempuan mereka, atau para perempuan sesame muslim, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak- anak mereka yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah,  wahai orang- orang yang beriman, agar kamu beruntung. (QS; An- Nur : 31 )[3]
            Dari hadits Nabi Saw dan Firman Allah tersebut diatas jelas bagi kita bahwa aurat merupakan hal penting yang harus ditutup dengan busana yang rapi, longgar, dan menutup seluruh anggota tubuh kecuali muka dan tepak tangan. Dengan aurat tidak untuk dipamerkan atau dibuka disembarang tempat yang dapat dilihat oleh siapapun juga, aurat boleh dilihat hanya oleh orang- orang tertentu saja dan dalam batas tertentu pula, dan itu berbusana dalam perspektif Islam, persoalan mode Islam tidak mengekang dengan aturanya tetapi Islam memberikan kebebasan yang seluas- luasnya yang terpinting aurat tubuh tertutup. Dan itu adalah bertujuan untuk membedakan wanita muslimah dengan wanita musyrikin dan gangguan lelaki hidung belang serta dalam rangka menjaga kehormatan kaum wanita itu sendiri.

E.  Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang dianggap layak menjadi perhatian berkaitan dengan busana dalam seting sosial budaya masyarakat dan konteks kekinian. Busana adalah konstruksi budaya yang memiliki sumber dari ajaran agama. Keberadaan busana bertujuan untuk melindungi manusia, menjaga eksistensi diri dan harkat martabat kemanusiaan. Busana sebagai konstruksi budaya bersifat dinamis yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan manusia.
Perubahan kehidupan manusia akibat pendidikan, informasi dan teknologi, tidak harus menggugurkan nilai dasar (basic values) yang diakandung busana, tetapi nilai dasar tersebut harus mampu mendorong manusia mengkreasi busana yang sesuai dengan nilai, norma, kepatutan, etika dan estetika manusia sebagai makhluk berbudaya.
Dalam seting sosial budaya masyarakat Aceh, busana telah diaktualisasikan dalam sejumlah profesi kehidupan, baik pada ranah kehidupan domestik maupun kehidupan publik manusia. Ciri dan karakteristik busana yang dianut suatu komunitas kemungkinan besar berbeda dengan komunitas lain, namun nilai dasar yang bersumber dari ajaran agama dan moral tidak pernah lekang dari busana yang dikenakan oleh masyarakat Aceh. Dalam sejarah, busana masyarakat muslim Aceh, tidak dapat lepas dari situasi sosial, profesi dan persepsi masyarakat yang berkembang untuk suatu kurun waktu tertentu.
Busana islami adalah busana yang modern, busana yang mendukung kreatifitas manusia dan busana yang memiliki nilai etis dan estetis, serta tidak keluar dari prinsip-prinsip ajaran syari’at Islam. Dengan demikian patokan dasar busana yang dikenakan oleh masyarakat muslim adalah : Norma Agama, Moral, Kepatutan, Etika dan Estetika serta Menutup seluruh aurat dari material yang halal, Tidak sempit dan membentuk tubuh, Harus berbeda dengan pemeluk agama lain, Berbeda dengan pakaian laki-laki, Bukan pakaian untuk dibangga-banggakan dan tidak mempesona orang lain.













DAFTAR  PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala E.. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2004

Departemen Agama RI, Al- Quran Dan Terjemahnya, Jakarta, CV. Kathoda. 2006

Devito, Joseph A. Komunikasi Antar manusia Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books. 1997

Dominick, Joseph R. The Dynamick of Mass Communication. New York: Random House. 1990.

Griffin, Emory A.. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill, 2004

Infante, Dominic A, Andrew S. Rancer & Deanna F. Womack.. Building Communication Theory. Long Grove: Waveland Press. 2003

Kholil Syukur, Dr. H. Komunikasi Islam. Bandung: Cita Pustaka, 2007

Littlejhon W. Stephen. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009

MA. Malyana Deddy.Dr, Msc. Rahmad Jalaluddin. Drs. Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009
Matsumoto David, Pengantar Psikologi Litas Budaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004

Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 1987.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur. Wood, JT. Communication Theories in Action. Calofornia: Belmont. 2000.
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
Lecture 24, cultivation theory by George Gerbner.
www.asudayton/edu/com/faculty/kenny/cultivation.html, George Gerbner Cultivation Theory.
Diposkan oleh Robeet Thadi, S.Sos., M.Si di 10:34






[1] . Departemen Agama RI.  Al- Qur’an dan terjemahnya. H.603
[2]  Ibid
[3] . Ibid